Harga bawang merah
yang sering mengalami fluktuasi yang tajam akibat permintaan dan penawaran yang
tidak seimbang memerlukan perhatian khusus utamanya dalam hal budidaya dan
pemasaran hasil. Lahan dan iklim yang cocok di Kabupaten Badung sangat menarik
untuk mengembangkan agribisnis bawang merah.
Bawang merah (Allium cepa ascalonicum.) dikenal sebagai salah satu jenis sayuran berumbi lapis dari familia Amarylidaceae yang digunakan sebagai
bumbu dapur atau rempah. Hamper di setiap rumah tangga yang ada di Indonesia
tidak lepas dari penggunaan bawang merah dalam kehidupannya sehari-hari. Kandungan
protein yang tinggi, dan adanya vitamin C, mineral
potassium/kalium, sulfur, zat besi, asam folik,
serat serta beberapa senyawa lainnya sehingga ada yang memanfaatkan sebagai
bahan obat-obatan tradisional. Permintaan akan bawang merah semakin meningkat
dengan semakin berkembangnya rumah-rumah makan, dan juga dalam menghadapi hari-hari
besar keagamaan seperti hari raya dan tahun baru.
Agroklimat
Bawang merah memerlukan
kondisi lingkungan yang spesifik untuk dapat hidup dan berproduksi dengan baik.
Pertumbuhan dan hasil umbi bawang merah pada dasarnya berhubungan dengan sistem
fotosintesis dan respirasi tanaman. Oleh sebab itu faktor-faktor
yang berpengaruh kedua proses tersebut harus terdapat pada level yang optimal. Iklim dan tanah merupakan dua faktor utama yang perlu mendapat perhatian
agar diperoleh pertumbuhan dan hasil bawang merah yang memuaskan. Iklim yang baik untuk pertumbuhan bawang merah adalah iklim kering
dengan sehu udara 25 oC – 32 oC, dengan curah hujan 300 –
2.500 mm/tahun dan mendapat sinar matahari lebih dari 12 jam. Hal ini hanya
didapat pada daerah dengan ketinggian 0 – 800 m diatas permukaan laut. Namun pertumbuhan yang optimum dihasilkan pada dataran rendah dan
yang paling baik jika suhu rata-rata tahunannya adalah 30 oC
(Wibowo, 2007). Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas
hujan yang tinggi serta cuaca berkabut.
Tanaman bawang merah cocok ditanam pada tanah gembur, subur dengan draenasi baik. Jenis tanah yang dianjurkan untuk budidaya bawang merah adalah regosol, grumosol, latosol, dan aluvial, dengan pH 5,5 – 7,0. Tanah lempung berpasir memperbaiki perkembangan umbinya, karena sifat tanah yang demikian ini mempunyai aerasi dan drainase yang baik. Tanah yang demikian ini mempunyai perbandingan yang seimbang antara fraksi liat, pasir, dan debu (Ashari, 1995 dan Wibowo, 2007).
Tanaman bawang merah cocok ditanam pada tanah gembur, subur dengan draenasi baik. Jenis tanah yang dianjurkan untuk budidaya bawang merah adalah regosol, grumosol, latosol, dan aluvial, dengan pH 5,5 – 7,0. Tanah lempung berpasir memperbaiki perkembangan umbinya, karena sifat tanah yang demikian ini mempunyai aerasi dan drainase yang baik. Tanah yang demikian ini mempunyai perbandingan yang seimbang antara fraksi liat, pasir, dan debu (Ashari, 1995 dan Wibowo, 2007).
Jika
tanahnya terlalu asam dengan pH di bawah 5,5 Aluminium yang terlarut dalam
tanah akan bersifat racun sehingga tumbuhnya tanaman akan menjadi kerdil.
Sedangkan tanah dengan pH di atas 7,0 atau bersifat basa, garam Mangan tidak
dapat diserap oleh tanaman, akibatnya umbinya menjadi kecil dan hasilnya rendah,
apabila tanahnya berupa tanah gambut yang pH-nya di bawah 4, perlu pengapuran
dahulu untuk pembudidayaan tanaman bawang merah (Wibowo, 2007).
Jenis dan Variasi Produk
Jenis dan Variasi Produk
Ada beberapa varietas bawang
merah yang berkembang baik di Kabupaten Badung, antara lain Biru Lancor, Bima Brebes, Super Philip, Bauji, Batu Ijo,
Tuk Tuk dan lain-lain, namun yang banyak diusahakan di Daerah Badung adalah
dari varietas lokal Bangli.
Pada umumnya produksi bawang
merah dijual dalam bentuk umbi kering (segar), baik yang sudah dilepas dari
daunnya maupun yang masih ada daunnya dalam bentuk ikatan. Namun demikian
beberapa industri kecil rumah tangga sudah mulai ada yang memasarkan dalam
bentuk olahan bawang goreng untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar.
Bawang goreng tersebut dikemas secara sederhana dalam kantong-kantong plastik
kecil.
Permasalahan Komoditas
Permasalahan
utama komoditas bawang merah di Badung adalah harga bawang merah yang sering
mengalami fluktuasi yang tajam akibat permintaan dan penawaran yang tidak
seimbang, dimana pada musim panen dan menjelang musim penghujan harga bawang
merah anjlok. Namun menjelang menghadapi hari-hari besar keagamaan (Galungan,
Kuningan, Natal, Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru dan lain-lain) harga
meningkat tajam. Fluktuasi harga juga disebabkan faktor distribusi yang tidak
merata, akibat belum berkembangnya jiwa entrepreneurship pelaku usaha untuk
menjadi pedagang pengumpul bawang merah di desa, dan adanya faktor hama dan
penyakit. Untuk itu usaha agribisnis bawang merah sangat memerlukan perhatian
khusus utamanya dalam hal budidaya dan pemasaran hasil.
Potensi Komoditas
Luas Areal dan Produksi
Luas tanam dan luas panen
bawang merah di Kabupaten Badung tahun 2018 seluas 6,0 ha, dengan produksi
mencapai 75,90 ton dan rata-rata produktivitas mencapai 12,65 ton per hektar.
Dibandingkan tahun 2017,
terjadi kenaikan produksi sebesar 67,90 ton. Kenaikan ini disebabkan oleh
peningkatan luas panen seluas 5 hektar dan peningkatan produktivitas sebesar
4,65 ton per hektar (58,13 persen).
Sentra Produksi, Kalender Panen, dan Pemasaran
Di Daerah Badung, tanaman
bawang merah biasanya diusahakan pada Kecamatan Petang, Kecamatan Abiansemal,
Kecamatan Mengwi dan Kecamatan Kuta Utara, namun luas tanam dan produksi terbesar berada di Kecamatan Mengwi dan Abiansemal.
Pada umumnya petani menanam
bawang merah pada akhir musim hujan (Maret/April) dan kemarau (Mei/Juni). Umur
panen tergantung varietas, namun panen dapat dilakukan pada umur tanaman antara
60 – 85 hari setelah tanam. Sehingga bawang mrah dapat dipanen pada bulan pada
bulan Juni sampai bulan September.
Bawang merah dipasarkan dalam bentuk segar. Belum banyak lembaga-lembaga
pemasaran yang terlibat dalam pemasaran bawang merah, umumnya para petani
menjual sendiri ke pasar atau melalui pedagang pengumpul.
Kelayakan Usahatani
Dari analisis kelayakan
usaha tani yang dilakukan penulis diperoleh hasil yang menguntungkan
ditunjukkan dengan tingkat ROI (Return of
Investment) atau pengembalian modalnya sebesar 234,33%, Break Event Point (BEP) Rp 5.982,09 dan
B/C (Benefit Cost Ratio) sebesar
2,34. Sebuah analisa yang sangat layak untuk diusahakan menjadi usaha tani yang
nyata. Sedangkan harga bawang merah pada bulan Juni hingga bulan September 2018
di pasar-pasar tradisional di Kabupaten Badung sekitar Rp 20.000,- masih di
atas harga Break Event Point (BEP). Oleh
karenanya untuk mencapai sukses berusaha tani bawang merah, maka teknologi
produksi perlu dikuasai dengan baik.
Peluang Pasar
Pemasaran utama bawang
merah terdapat di kota-kota besar yang memiliki penduduk padat. Permintaan
komoditas bawang merah selalu akan meningkat sesuai dengan jumlah penduduk yang selalu
bertambah, berkembangnya ragam kuliner dan meningkatnya sektor pariwisata
(Hotel dan Restoran) sedangkan kemampuan produksi relatif tetap. Dengan
demikian peluang pasar komoditas ini masih terbuka lebar.
Prospek Investasi
Prospek investasi yang
menarik untuk komoditas bawang merah di Kabupaten Badung adalah perbaikan
teknologi produksi, pengembangan penangkar benih, pasca panen (grading),
pengolahan hasil dan membangun kemitraan usaha dan kerjasama dengan mitra usaha
lainnya.
Pustaka
Ashari, S. 1995. Hortikultura
Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta.
Wibowo, S. 2007. Budidaya
Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta.