Sabtu, 15 November 2014

PENGUJIAN BEBERAPA PAKET TEKNOLOGI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI (Aplikasi BiotaMax Sebagai Suatu Alternatif Paket Teknologi)



Hampir seratus persen penduduk Indonesia masih mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Itu berarti peningkatan produksi beras sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat harus tetap menjadi prioritas utama pembangunan nasional di sektor pertanian tanaman pangan.
Walaupun tingkat konsumsi beras Indonesia mengalami penurunan rata-rata sebesar 1,62 persen per tahun, namun dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun, maka jumlah penduduk Indonesia Tahun 2015 diperkirakan menjadi 255.461.700 jiwa ternyata masih membutuhkan konsumsi beras yang tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Oleh karena itu berbagai program pembangunan pertanian yang telah dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak lain, sebagai upaya untuk menghindarkan masyarakat dari krisis pangan. Namun dari hasil evaluasi terhadap pengembangan tanaman pangan khususnya tanaman padi (komoditas beras) yang telah dilaksanakan selama ini, masih dijumpai banyak persoalan yang mendasar yang harus dipecahkan dan memerlukan penanganan yang cermat dan tepat. Salah satu diantaranya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan, membudayakan penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah.
Tujuan dari pengkajian ini untuk mengetahui cara aplikasi teknologi pemupukan dengan pupuk hayati BiotaMax, mengetahui pengaruh jumlah/dosis pupuk hayati BiotaMax terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi dan untuk mengetahui paket teknologi terbaik dari paket teknologi yang dikaji terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi.
Pengkajian ini dilaksanakan di Subak Aya Desa Tumbakbayuh Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Provinsi Bali dari tanggal 23 Juni sampai dengan 29 September 2014. Varietas padi yang digunakan adalah Ciherang. Rancangan yang digunakan dalam pengkajian ini Rancangan Acak Kelompok (RAK) sederhana. Paket teknologi yang diuji sebanyak 4 (empat) perlakuan, diulang 3 (tiga) kali sehingga terdapat 12 petak perlakuan. Adapun paket teknologi tersebut adalah : Paket teknologi A = 10 tablet BiotaMax + 1 ton Pupuk Organik + 150 kg Urea + 150 kg NPK Phonska per hektar; Paket teknologi B = 10 tablet BiotaMax + 150 kg Urea + 150 kg NPK Phonska per hektar; Paket teknologi C = 1 ton Pupuk Organik + 150 kg Urea + 150 kg NPK Phonska per hektar; dan Paket teknologi D = 200 kg Urea + 150 kg NPK Phonska per hektar (sebagai petak kontrol). Data pengkajian diperoleh dari pengamatan tanaman padi yang berada ditengah pada setiap petakan perlakuan, hasil gabah kering panen dilakukan melalui teknik ubinan 2,5 m x 2,5 m. Perbedaan perlakuan diuji berdasarkan analisis varian. Jika perlakuan yang diuji menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dapat dilanjutkan dengan uji nilai rata-rata.
Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa secara analisis statistik paket teknologi yang diteliti berpengaruh tidak nyata (P > 0,05) terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun, jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah gabah berisi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total dan bobot 1000 butir gabah kering panen. Namun paket teknologi yang diteliti berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap hasil gabah kering panen dan bobot gabah total per rumpun, dimana hasil tersebut meningkat secara nyata sebesar 13,09% terjadi pada Paket teknologi A, sedangkan Paket teknologi B dan Paket teknologi C meningkat secara tidak nyata masing-masing sebesar 7,69% dan 3,64% dibanding Paket teknologi D.
Meningkatnya hasil gabah kering panen secara nyata pada Paket teknologi A sebesar 8,944 ton per hektar disebabkan adanya pengaruh beberapa parameter lain yaitu jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah gabah berisi per malai yang cenderung semakin meningkat, berkurangnya jumlah gabah hampa per malai dan meningkatnya berat 1000 butir gabah kering panen yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas gabah.
Hasil pengkajian ini seyogyanya dapat digunakan sebagai upaya mendukung kebijakan swasembada beras yang berkelanjutan, karena Paket teknologi A selain dapat meningkatkan hasil juga dapat mempercepat proses pembugaran tanah.
Agensia hayati atau pupuk hayati yang digunakan dalam pengkajian ini adalah BiotaMax seperti pada Paket teknologi A, oleh karena itu BiotaMax dapat digunakan sebagai bahan pembugaran tanah bahkan penggunaan BiotaMax dan pupuk organik secara nyata dapat mengurangi penggunaan pupuk Urea sebanyak 50 kg Urea per Hektar.

Sabtu, 13 September 2014

MARI GENJOT PRODUKSI DAN KUALITAS KEDELAI



Indonesia sudah lama dikenal dunia sebagai negara agraris, maka sudah sepantasnya sektor pertanian menjadi salah satu sektor utama pendukung perekonomian bangsa ini. Oleh karena itu sektor pertanian harus mampu mengakselerasi diri untuk meningkatkan produk pertaniannya. Salah satu komoditas tanaman pangan potensial yang perlu dipacu untuk dikembangkan dan ditingkatkan adalah komoditas kedelai.
Akhir-akhir ini komoditas kedelai sudah menjadi komoditas strategis dan politis setelah komoditas pangan padi. Mengapa tidak, begitu harga kedelai naik akibat pasokan kedelai yang kurang, para pengusaha/pengrajin tahu dan tempe mengalami kesusahan berproduksi. Sehingga jenis makanan tahu dan tempe ini sulit didapat, namun bila ada harga sudah meningkat atau kualitasnya menjadi berkurang dan masyarakat penggemar kedua jenis makanan ini mengalami keresahan. Ternyata para penggemar tahu dan tempe di Indonesia ini cukup banyak.
Pertambahan penduduk yang semakin meningkat juga mengakibatkan meningkatnya permintaan konsumsi tahu dan tempe. Sementara produksi kedelai selama ini tidak dapat mencukupi kebutuhan para pengrajin tahu dan tempe. Produksi kedelai Indonesia sampai saat ini baru mampu mencapai 800 ribu ton kedelai tiap tahunnya, padahal kebutuhan kedelai selama ini sekitar 2,5 juta ton – 2,7 juta ton per tahunnya.
Kelangkaan kedelai di pasar lokal, seolah-olah menyadarkan pemerintah bahwa selama ini suplai kedelai kita masih kurang dan pemerintah lebih berpihak kepada kebijakan impor kedelai ketimbang mengupayakan peningkatan produksi dan perbaikan kualitas kedelai dalam negeri. Pertumbuhan kedelai yang telah dicapai selama tahun 2005 – 2009 sebesar 0,90 %, dimana target pertumbuhan tersebut akan ditingkatkan menjadi 20,05 % selama tahun 2010 – 2014 agaknya sulit dicapai. Sehingga arah kebijakan dan strategi pencapaian swasembada kedelai yang tertuang dalam Rencana Strategis Tahun 2010 – 2014 Kementerian Pertanian mengalami tantangan yang berat. Apalagi pada tahun 2014 mendatang bangsa kita disibukkan oleh adanya agenda politik, yakni pemilihan wakil rakyat dan presiden. Itu berarti segala sumber daya yang ada dari tingkat pusat hingga desa dimobilisir dan dikembangkan semaksimal mungkin untuk mengejar target swasembada kedelai yang tinggal setahun lagi.
Impor kedelai Indonesia tiap tahunnya yang cukup besar juga merupakan tantangan yang cukup berat, karena bangsa kita baru bisa menenuhi sepertiga dari kebutuhan para pengrajin tahu dan tempe. Devisa negara kita tiap tahun lari keluar negeri, untuk para produsen yang ada di luar negeri, seperti petani-petani di Amerika Serikat dan Brazil. Bayangkan apabila harga kedelai impor Rp 9.500,- per kilogram, itu berarti sudah sekitar Rp 18,05 triliun per tahun devisa negara kita keluar untuk membeli kedelai impor yang notabenenya dinikmati para produsen di luar negeri. Belum lagi mata uang rupiah saat ini terdepresiasi terhadap dollar, harga kedelai akan semakin meningkat karena kedelai dibeli dengan dollar. Di sisi lain Amerika Serikat saat ini dilanda musim kemarau yang berkelanjutan sehingga harga kedelai di negara itu mengalami kenaikkan. Pilihan kebijakan impor ini dirasa sangat berat. Ketergantungan yang cukup besar terhadap pasar impor dinilai kurang menguntungkan apalagi kondisi pasar kedelai dunia bersifat tipis. Penghapusan bea masuk kedelai dari 5% menjadi 0% justeru akan membuat impor kedelai semakin deras. Semoga saja kebijakan ini tidak berkepanjangan karena yang diharapkan rakyat adalah devisa negara itu dipakai rakyatnya sendiri untuk meningkatkan produksi dan kualitas kedelai.
Namun dibalik harga kedelai yang tinggi ini, seyogyanya dapat disikapi oleh para produsen kedelai di dalam negeri sebagai peluang untuk menggenjot produksi kedelainya. Dalam hal ini dibutuhkan dukungan dan peran pemerintah secara sungguh-sungguh untuk melakukan sosialisasi tentang kualitas kedelai dalam negeri, karena selama ini yang dipermasalahkan para pengrajin tahu dan tempe adalah kualitas kedelai lokal. Padahal peneliti-peneliti kita pernah mengatakan bahwa kandungan gizi kedelai lokal lebih tinggi daripada kedelai impor. Jika ukuran biji kedelai yang menjadi masalah, maka bisa dirancang oleh peneliti kita alat untuk grading biji kedelai, yang berukuran kecil dapat digunakan untuk bahan pembuatan tahu sedangkan biji kedelai yang berukuran besar dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan tempe. Sementara itu kedelai impor di negara asalnya digunakan sebagai bahan pakan ternak. Apabila kualitas kedelai lokal ini bisa diyakinkan pemerintah kepada para pengrajin dan konsumen tahu dan tempe, tidak mustahil kedelai lokal kita dapat bersaing dengan kedelai impor dan memiliki daya saing di pasar dunia.
Komponen teknologi unggulan yang akan dikembangkan untuk meningkatkan produksi kedelai dapat disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah, seperti penggunaan varietas unggul baru selain bertujuan untuk peningkatan produksi juga sebagai upaya dalam mengantisipasi terhadap perubahan iklim. Saat ini peneliti-peneliti kita (BATAN dan LIPI) telah menemukan beberapa varietas unggul baru kedelai seperti Muria, Tengger, Meratus, Mitani, Rajabasa dan masih banyak lagi varietas kedelai. Bahkan varietas Rajabasa memiliki keunggulan produktivitasnya yang tinggi dapat mencapai 2,05 – 3,9 ton/hektar, tahan penyakit karat daun (Phakospora pachyrizi Syd), biji berwarna kuning mengkilap dan berukuran besar, berat 1.000 biji dapat mencapai 150 gram dinilai mampu bersaing dengan kedelai impor. Varietas Gamasugen-1 dan Gamasugen-2 berumur genjah, umur panen sekitar 66 hari – 70 hari. Varietas Baluran umur panen 80 hari dengan produktivitas dapat mencapai 2,5 – 3,5 ton/ha, vareiatas ini cukup populer di wilayah Jawa Timur.
Kualitas benih yang digunakan juga harus bermutu dan berlabel, dengan daya tumbuh benih di atas 80%. Selain itu komponen teknologi lain yang harus diperhatikan adalah waktu tanam harus tepat, jarak tanam (populasi tanaman), pemupukan, pengendalian organisme pengganggu tanaman, amelioron pada lahan-lahan masam, disamping pengolahan lahan, pengairan dan kegiatan panen dan pasca panen yang juga sama pentingnya.
Untuk mengejar target swasembada kedelai yang tinggal satu tahun lagi, maka alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman serius saat ini hingga tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu pemerintah dapat menginstruksikan kepada BUMN-BUMN yang memiliki lahan terlantar, lahan tidur dan lahan marginal mulai saat ini dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pertanaman kedelai.
Kebijakan lain yang ikut mendorong percepatan peningkatan produksi kedelai adalah memberikan insentif (perlindungan) terhadap petani kedelai. Insentif yang diberikan dapat berupa input produksi (subsidi pupuk, subsidi benih dan sebagainya) maupun output berupa harga jual yang layak. Kebijakan ini sebagai alternatif penyeimbang terhadap penghapusan bea masuk kedelai dan jalan keluar terhadap ketimpangan antara tingkat produksi dan kebutuhan kedelai secara nasional.
Instrumen kebijakan ini memang harus dilakukan mesti akan memberikan beban yang amat besar kepada anggaran pemerintah. Apalagi dalam situasi yang semakin kompetitif ini, maka produksi kedelai harus tetap dilaksanakan dalam sistem yang efektif dan produktivitas tinggi yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang mencukupi, berkelanjutan, berkualitas dan memiliki daya saing tinggi.

Jumat, 12 September 2014

PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA BERKELANJUTAN

Sejalan dengan perkembangan teknologi di bidang pertanian, maka peranan pupuk menjadi semakin penting karena pemakaian pupuk merupakan salah satu komponen dalam peningkatan produksi. Pemakaian pupuk anorganik (kimia) seperti ; Urea, SP-36, KCl dan Phonska, yang terus menerus tanpa diimbangi pupuk organik sebagai penyedia unsur hara tanah, menyebabkan tanah akan menjadi miskin bahan organik dan unsur hara penyangga. Bahkan tanah akan menjadi rentan terhadap kekeringan dan penyakit, sehingga produktivitas dan kestabilan sistem pertanian akan menurun. Pada situasi demikian maka investasi unsur hara dan tenaga kerja pada saat awal sangat diperlukan bagi peningkatan produksi biomassa untuk kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk. Dengan demikian modal kerja petani akan semakin meningkat dalam bentuk bahan organik tanah.
Oleh karena itu ketersediaan bahan organik dan unsur hara penyangga di dalam tanah perlu dijaga kestabilannya melalui penggunaan pupuk organik, karena pupuk organik mampu mengatur suhu dan kelembaban tanah sehingga dapat meningkatkan kerja dan jumlah mikro organisme dalam tanah yang pada gilirannya dapat menyuburkan dan menyehatkan tanah kembali.
Akhir-akhir ini penggunaan pupuk organik mulai gencar-gencarnya dimasyarakatkan sebagai terobosan teknologi baru pada usahatani padi sawah, mengingat adanya gejala pelandaian (leveling off) bahkan cenderung menurun dalam produktivitas padi, yang diakibatkan oleh menurunnya kesuburan fisik tanah pertanian, terutama di lahan sawah. Struktur tanah yang semakin masif akibat penerapan pupuk kimia dalam jangka waktu yang lama.
Di samping itu penyebab tidak bertambahnya produktivitas tanaman adalah kecenderungan petani yang masih menggunakan salah satu pupuk tunggal secara berlebihan, terutama pupuk nitrogen (N), sementara penggunaan jenis pupuk lainnya (P, K dan unsur mikro) masih sangat kurang. 
Untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan lahan sekaligus mengurangi konsumsi pupuk N, diperlukan upaya antara lain: (1) mencanangkan gerakan nasional penggunaan pupuk majemuk secara berimbang, (2) menurunkan proporsi penggunaan pupuk kimia, dan (3) meningkatkan penggunaan pupuk organik untuk memperbaiki kesuburan fisik tanah.

Dengan demikian pencapaian target swasembada padi yang berkelanjutan dibutuhkan kerja keras dari kementerian pertanian serta melibatkan instansi/lembaga terkait. Target akan tercapai apabila sasaran peningkatan produksi padi harus dipertahankan minimal sama dengan peningkatan permintaan dalam negeri. Dengan memperhitungkan proyeksi laju pertumbuhan penduduk nasional, permintaan bahan baku industri dalam negeri, kebutuhan stok nasional dan peluang ekspor. Atas dasar perhitungan di atas maka sasaran produksi padi nasional pada tahun 2014 atau diakhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap ke-2 ditargetkan sebesar 75,70 juta ton gabah kering giling (GKG).
Di Provinsi Bali, untuk mendukung target swasembada beras yang berkelanjutan melaksanakan substansi inti program aksi ketahanan pangan, salah satu substansi inti program aksi ketahanan pangan yang dilaksanakan tersebut adalah penelitian dan pengembangan, yaitu peningkatan upaya penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil peneilitian lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian yang tinggi. Penjabaran program aksi ini Pemerintah Daerah Bali telah mencanangkan program Bali Go Organik. Selain pemakaian pupuk organik, juga mulai berkembang pemakaian pestisida organik. Pengembangan pertanian organik bertujuan untuk melestarikan keragaman hayati, memasyarakatkan budidaya organik, membatasi pencemaran lingkungan, meningkatkan usaha konservasi tanah dan air serta meningkatkan kesehatan masyarakat. Dukungan diberikan oleh seluruh pemerintah kabupaten dan kota, termasuk aparat terdepan yaitu penyuluh pertanian.
Untuk mendukung kebijakan di atas para penyuluh pertanian di Kabupaten Badung membentuk cluster dan melakukan serangkaian pengkajian pertanian, melalui pemanfaatan dana materi operasional penyuluhan (MOP). Tema yang dipilih diantaranya adalah pengkajian berbagai jenis pupuk organik dalam peningkatan produktivitas padi sawah. Pengkajian didasarkan atas pentingnya manfaat dan telah dikenalnya pupuk organik oleh masyarakat. Beberapa jenis pupuk organik yang sudah dikenal oleh petani antara lain: Superfarm, Petrogenik, Faperta, Bio Organik, Golden Harvest yang mana dalam pemakaian pada dosis yang optimum akan dapat meningkatkan produksi yang maksimum.
Kaji tindak penggunaan pupuk organik pada pertanaman padi ini dilakukan di Subak Teba, Desa Abianbase, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, pada tahun 2010. Perlakuan yang digunakan adalah beberapa jenis pupuk organik yang dipadukan dengan penggunaan pupuk Urea dengan dosis 100 kg/ha dan pupuk Phonska dengan dosis 100 kg/ha. Pupuk organik yang digunakana adalah pupuk Superfarm dengan dosis 2 lt/ha, pupuk Paferta dengan dosis 2 lt/ha dan pupuk Golden Harvest dengan dosis 2 lt/ha. Sebagai pembanding adalah penggunaan pupuk Urea dengan dosis sesuai rekomendasi sebesar 200 kg/ha dan penggunaan pupuk Phonska dengan dosis rekomendasi 200 kg/ha. Varietas padi yang digunakan dalam pengkajian adalah Varietas Ciherang.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa jenis pupuk organik berpengaruh nyata terhadap berat gabah kering panen ha-1. Produktivitas yang dicapai dengan pemakaian pupuk organik mencapai 7,777 t GKP ha-1 hingga 8,147 t GKP ha-1 atau terjadi peningkatan produktivitas sekitar 21.52% - 27,30% dibandingkan dengan menggunakan pupuk Urea sebanyak 200 kg ha-1 dan pupuk Phonska 200 kg ha-1 . Dengan harga gabah kering panen (GKP) saat itu sebesar Rp 2.800,- per Kg, maka keuntungan bersih yang diperoleh dari usahatani padi sawah dengan menggunakan pupuk organik mencapai sebesar Rp. 15.477.500,- ha-1. Sampai dengan Rp 16.562.500,- ha-1. Dari analisis financial terhadap biaya produksi yang digunakan (menyangkut biaya saprodi, penggunaan tenaga kerja dan lain-lain) menunjukkan bahwa B/C ratio mencapai antara 2,44 sampai dengan 2,65. Dari sisi usahatani pengkajian pemupukan dengan menggunakan pupuk organik ini layak untuk dilaksanakan.
Kaji tindak di atas menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik pada pertanaman padi yang dipadukan dengan pengurangan penggunaan pupuk anorganik (kimia) dalam hal ini pupuk Urea dan Phonska hingga setengah/separoh dosis rekomendasi dapat meningkatkan produktivitas padi. Namun untuk mendapatkan informasi yang lebih mantap, maka pengkajian ini seyogyanya diulang pada lokasi yang berbeda. Dengan demikian hasil pengkajian berupa teknologi terapan ini diharapkan dapat digunakan untuk mendukung target swasembada berkelanjutan, sekaligus sebagai upaya untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan serta dapat menurunkan proporsi penggunaan pupuk kimia.