Indonesia sudah lama
dikenal dunia sebagai negara agraris, maka sudah sepantasnya sektor pertanian menjadi
salah satu sektor utama pendukung perekonomian bangsa ini. Oleh karena itu
sektor pertanian harus mampu mengakselerasi diri untuk meningkatkan produk
pertaniannya. Salah satu komoditas tanaman pangan potensial yang perlu dipacu untuk
dikembangkan dan ditingkatkan adalah komoditas kedelai.
Akhir-akhir ini komoditas kedelai sudah menjadi
komoditas strategis dan politis setelah komoditas pangan padi. Mengapa tidak, begitu
harga kedelai naik akibat pasokan kedelai yang kurang, para pengusaha/pengrajin
tahu dan tempe mengalami kesusahan berproduksi. Sehingga jenis makanan tahu dan
tempe ini sulit didapat, namun bila ada harga sudah meningkat atau kualitasnya menjadi
berkurang dan masyarakat penggemar kedua jenis makanan ini mengalami keresahan.
Ternyata para penggemar tahu dan tempe di Indonesia ini cukup banyak.
Pertambahan penduduk yang semakin meningkat juga
mengakibatkan meningkatnya permintaan konsumsi tahu dan tempe. Sementara produksi
kedelai selama ini tidak dapat mencukupi kebutuhan para pengrajin tahu dan
tempe. Produksi kedelai Indonesia sampai saat ini baru mampu mencapai 800 ribu
ton kedelai tiap tahunnya, padahal kebutuhan kedelai selama ini sekitar 2,5
juta ton – 2,7 juta ton per tahunnya.
Kelangkaan kedelai di pasar lokal, seolah-olah
menyadarkan pemerintah bahwa selama ini suplai kedelai kita masih kurang dan
pemerintah lebih berpihak kepada kebijakan impor kedelai ketimbang mengupayakan
peningkatan produksi dan perbaikan kualitas kedelai dalam negeri. Pertumbuhan
kedelai yang telah dicapai selama tahun 2005 – 2009 sebesar 0,90 %, dimana
target pertumbuhan tersebut akan ditingkatkan menjadi 20,05 % selama tahun 2010
– 2014 agaknya sulit dicapai. Sehingga arah kebijakan dan strategi pencapaian
swasembada kedelai yang tertuang dalam Rencana Strategis Tahun 2010 – 2014 Kementerian
Pertanian mengalami tantangan yang berat. Apalagi pada tahun 2014 mendatang
bangsa kita disibukkan oleh adanya agenda politik, yakni pemilihan wakil rakyat
dan presiden. Itu berarti segala sumber daya yang ada dari tingkat pusat hingga
desa dimobilisir dan dikembangkan semaksimal mungkin untuk mengejar target
swasembada kedelai yang tinggal setahun lagi.
Impor kedelai Indonesia tiap tahunnya yang cukup
besar juga merupakan tantangan yang cukup berat, karena bangsa kita baru bisa
menenuhi sepertiga dari kebutuhan para pengrajin tahu dan tempe. Devisa negara
kita tiap tahun lari keluar negeri, untuk para produsen yang ada di luar
negeri, seperti petani-petani di Amerika Serikat dan Brazil. Bayangkan apabila
harga kedelai impor Rp 9.500,- per kilogram, itu berarti sudah sekitar Rp 18,05
triliun per tahun devisa negara kita keluar untuk membeli kedelai impor yang
notabenenya dinikmati para produsen di luar negeri. Belum lagi mata uang rupiah
saat ini terdepresiasi terhadap dollar, harga kedelai akan semakin meningkat
karena kedelai dibeli dengan dollar. Di sisi lain Amerika Serikat saat ini
dilanda musim kemarau yang berkelanjutan sehingga harga kedelai di negara itu
mengalami kenaikkan. Pilihan kebijakan impor ini dirasa sangat berat.
Ketergantungan yang cukup besar terhadap pasar impor dinilai kurang
menguntungkan apalagi kondisi pasar kedelai dunia bersifat tipis. Penghapusan
bea masuk kedelai dari 5% menjadi 0% justeru akan membuat impor kedelai semakin
deras. Semoga saja kebijakan ini tidak berkepanjangan karena yang diharapkan rakyat
adalah devisa negara itu dipakai rakyatnya sendiri untuk meningkatkan produksi dan
kualitas kedelai.
Namun dibalik harga kedelai yang tinggi ini,
seyogyanya dapat disikapi oleh para produsen kedelai di dalam negeri sebagai
peluang untuk menggenjot produksi kedelainya. Dalam hal ini dibutuhkan dukungan
dan peran pemerintah secara sungguh-sungguh untuk melakukan sosialisasi tentang
kualitas kedelai dalam negeri, karena selama ini yang dipermasalahkan para
pengrajin tahu dan tempe adalah kualitas kedelai lokal. Padahal
peneliti-peneliti kita pernah mengatakan bahwa kandungan gizi kedelai lokal
lebih tinggi daripada kedelai impor. Jika ukuran biji kedelai yang menjadi
masalah, maka bisa dirancang oleh peneliti kita alat untuk grading biji
kedelai, yang berukuran kecil dapat digunakan untuk bahan pembuatan tahu
sedangkan biji kedelai yang berukuran besar dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuatan tempe. Sementara itu kedelai impor di negara asalnya digunakan
sebagai bahan pakan ternak. Apabila kualitas kedelai lokal ini bisa diyakinkan
pemerintah kepada para pengrajin dan konsumen tahu dan tempe, tidak mustahil
kedelai lokal kita dapat bersaing dengan kedelai impor dan memiliki daya saing
di pasar dunia.
Komponen teknologi unggulan yang akan dikembangkan
untuk meningkatkan produksi kedelai dapat disesuaikan dengan kondisi spesifik
wilayah, seperti penggunaan varietas unggul baru selain bertujuan untuk peningkatan
produksi juga sebagai upaya dalam mengantisipasi terhadap perubahan iklim. Saat
ini peneliti-peneliti kita (BATAN dan LIPI) telah menemukan beberapa varietas
unggul baru kedelai seperti Muria, Tengger, Meratus, Mitani, Rajabasa dan masih
banyak lagi varietas kedelai. Bahkan varietas Rajabasa memiliki keunggulan
produktivitasnya yang tinggi dapat mencapai 2,05 – 3,9 ton/hektar, tahan
penyakit karat daun (Phakospora pachyrizi
Syd), biji berwarna kuning mengkilap dan berukuran besar, berat 1.000 biji
dapat mencapai 150 gram dinilai mampu bersaing dengan kedelai impor. Varietas
Gamasugen-1 dan Gamasugen-2 berumur genjah, umur panen sekitar 66 hari – 70
hari. Varietas Baluran umur panen 80 hari dengan produktivitas dapat mencapai
2,5 – 3,5 ton/ha, vareiatas ini cukup populer di wilayah Jawa Timur.
Kualitas benih yang digunakan juga harus bermutu
dan berlabel, dengan daya tumbuh benih di atas 80%. Selain itu komponen
teknologi lain yang harus diperhatikan adalah waktu tanam harus tepat, jarak
tanam (populasi tanaman), pemupukan, pengendalian organisme pengganggu tanaman,
amelioron pada lahan-lahan masam, disamping pengolahan lahan, pengairan dan
kegiatan panen dan pasca panen yang juga sama pentingnya.
Untuk mengejar target swasembada
kedelai yang tinggal satu tahun lagi, maka alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman
serius saat ini hingga tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu pemerintah dapat
menginstruksikan kepada BUMN-BUMN yang memiliki lahan terlantar, lahan tidur
dan lahan marginal mulai saat ini dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
pertanaman kedelai.
Kebijakan lain yang ikut
mendorong percepatan peningkatan produksi kedelai adalah memberikan insentif
(perlindungan) terhadap petani kedelai. Insentif yang diberikan dapat berupa
input produksi (subsidi pupuk, subsidi benih dan sebagainya) maupun output
berupa harga jual yang layak. Kebijakan ini sebagai alternatif penyeimbang
terhadap penghapusan bea masuk kedelai dan jalan keluar terhadap ketimpangan
antara tingkat produksi dan kebutuhan kedelai secara nasional.
Instrumen kebijakan ini memang harus
dilakukan mesti akan memberikan beban yang amat besar kepada anggaran
pemerintah. Apalagi dalam situasi yang semakin kompetitif ini, maka produksi kedelai
harus tetap dilaksanakan dalam sistem yang efektif dan produktivitas tinggi
yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang mencukupi, berkelanjutan,
berkualitas dan memiliki daya saing tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar