Sabtu, 13 September 2014

MARI GENJOT PRODUKSI DAN KUALITAS KEDELAI



Indonesia sudah lama dikenal dunia sebagai negara agraris, maka sudah sepantasnya sektor pertanian menjadi salah satu sektor utama pendukung perekonomian bangsa ini. Oleh karena itu sektor pertanian harus mampu mengakselerasi diri untuk meningkatkan produk pertaniannya. Salah satu komoditas tanaman pangan potensial yang perlu dipacu untuk dikembangkan dan ditingkatkan adalah komoditas kedelai.
Akhir-akhir ini komoditas kedelai sudah menjadi komoditas strategis dan politis setelah komoditas pangan padi. Mengapa tidak, begitu harga kedelai naik akibat pasokan kedelai yang kurang, para pengusaha/pengrajin tahu dan tempe mengalami kesusahan berproduksi. Sehingga jenis makanan tahu dan tempe ini sulit didapat, namun bila ada harga sudah meningkat atau kualitasnya menjadi berkurang dan masyarakat penggemar kedua jenis makanan ini mengalami keresahan. Ternyata para penggemar tahu dan tempe di Indonesia ini cukup banyak.
Pertambahan penduduk yang semakin meningkat juga mengakibatkan meningkatnya permintaan konsumsi tahu dan tempe. Sementara produksi kedelai selama ini tidak dapat mencukupi kebutuhan para pengrajin tahu dan tempe. Produksi kedelai Indonesia sampai saat ini baru mampu mencapai 800 ribu ton kedelai tiap tahunnya, padahal kebutuhan kedelai selama ini sekitar 2,5 juta ton – 2,7 juta ton per tahunnya.
Kelangkaan kedelai di pasar lokal, seolah-olah menyadarkan pemerintah bahwa selama ini suplai kedelai kita masih kurang dan pemerintah lebih berpihak kepada kebijakan impor kedelai ketimbang mengupayakan peningkatan produksi dan perbaikan kualitas kedelai dalam negeri. Pertumbuhan kedelai yang telah dicapai selama tahun 2005 – 2009 sebesar 0,90 %, dimana target pertumbuhan tersebut akan ditingkatkan menjadi 20,05 % selama tahun 2010 – 2014 agaknya sulit dicapai. Sehingga arah kebijakan dan strategi pencapaian swasembada kedelai yang tertuang dalam Rencana Strategis Tahun 2010 – 2014 Kementerian Pertanian mengalami tantangan yang berat. Apalagi pada tahun 2014 mendatang bangsa kita disibukkan oleh adanya agenda politik, yakni pemilihan wakil rakyat dan presiden. Itu berarti segala sumber daya yang ada dari tingkat pusat hingga desa dimobilisir dan dikembangkan semaksimal mungkin untuk mengejar target swasembada kedelai yang tinggal setahun lagi.
Impor kedelai Indonesia tiap tahunnya yang cukup besar juga merupakan tantangan yang cukup berat, karena bangsa kita baru bisa menenuhi sepertiga dari kebutuhan para pengrajin tahu dan tempe. Devisa negara kita tiap tahun lari keluar negeri, untuk para produsen yang ada di luar negeri, seperti petani-petani di Amerika Serikat dan Brazil. Bayangkan apabila harga kedelai impor Rp 9.500,- per kilogram, itu berarti sudah sekitar Rp 18,05 triliun per tahun devisa negara kita keluar untuk membeli kedelai impor yang notabenenya dinikmati para produsen di luar negeri. Belum lagi mata uang rupiah saat ini terdepresiasi terhadap dollar, harga kedelai akan semakin meningkat karena kedelai dibeli dengan dollar. Di sisi lain Amerika Serikat saat ini dilanda musim kemarau yang berkelanjutan sehingga harga kedelai di negara itu mengalami kenaikkan. Pilihan kebijakan impor ini dirasa sangat berat. Ketergantungan yang cukup besar terhadap pasar impor dinilai kurang menguntungkan apalagi kondisi pasar kedelai dunia bersifat tipis. Penghapusan bea masuk kedelai dari 5% menjadi 0% justeru akan membuat impor kedelai semakin deras. Semoga saja kebijakan ini tidak berkepanjangan karena yang diharapkan rakyat adalah devisa negara itu dipakai rakyatnya sendiri untuk meningkatkan produksi dan kualitas kedelai.
Namun dibalik harga kedelai yang tinggi ini, seyogyanya dapat disikapi oleh para produsen kedelai di dalam negeri sebagai peluang untuk menggenjot produksi kedelainya. Dalam hal ini dibutuhkan dukungan dan peran pemerintah secara sungguh-sungguh untuk melakukan sosialisasi tentang kualitas kedelai dalam negeri, karena selama ini yang dipermasalahkan para pengrajin tahu dan tempe adalah kualitas kedelai lokal. Padahal peneliti-peneliti kita pernah mengatakan bahwa kandungan gizi kedelai lokal lebih tinggi daripada kedelai impor. Jika ukuran biji kedelai yang menjadi masalah, maka bisa dirancang oleh peneliti kita alat untuk grading biji kedelai, yang berukuran kecil dapat digunakan untuk bahan pembuatan tahu sedangkan biji kedelai yang berukuran besar dapat dipergunakan sebagai bahan pembuatan tempe. Sementara itu kedelai impor di negara asalnya digunakan sebagai bahan pakan ternak. Apabila kualitas kedelai lokal ini bisa diyakinkan pemerintah kepada para pengrajin dan konsumen tahu dan tempe, tidak mustahil kedelai lokal kita dapat bersaing dengan kedelai impor dan memiliki daya saing di pasar dunia.
Komponen teknologi unggulan yang akan dikembangkan untuk meningkatkan produksi kedelai dapat disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah, seperti penggunaan varietas unggul baru selain bertujuan untuk peningkatan produksi juga sebagai upaya dalam mengantisipasi terhadap perubahan iklim. Saat ini peneliti-peneliti kita (BATAN dan LIPI) telah menemukan beberapa varietas unggul baru kedelai seperti Muria, Tengger, Meratus, Mitani, Rajabasa dan masih banyak lagi varietas kedelai. Bahkan varietas Rajabasa memiliki keunggulan produktivitasnya yang tinggi dapat mencapai 2,05 – 3,9 ton/hektar, tahan penyakit karat daun (Phakospora pachyrizi Syd), biji berwarna kuning mengkilap dan berukuran besar, berat 1.000 biji dapat mencapai 150 gram dinilai mampu bersaing dengan kedelai impor. Varietas Gamasugen-1 dan Gamasugen-2 berumur genjah, umur panen sekitar 66 hari – 70 hari. Varietas Baluran umur panen 80 hari dengan produktivitas dapat mencapai 2,5 – 3,5 ton/ha, vareiatas ini cukup populer di wilayah Jawa Timur.
Kualitas benih yang digunakan juga harus bermutu dan berlabel, dengan daya tumbuh benih di atas 80%. Selain itu komponen teknologi lain yang harus diperhatikan adalah waktu tanam harus tepat, jarak tanam (populasi tanaman), pemupukan, pengendalian organisme pengganggu tanaman, amelioron pada lahan-lahan masam, disamping pengolahan lahan, pengairan dan kegiatan panen dan pasca panen yang juga sama pentingnya.
Untuk mengejar target swasembada kedelai yang tinggal satu tahun lagi, maka alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman serius saat ini hingga tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu pemerintah dapat menginstruksikan kepada BUMN-BUMN yang memiliki lahan terlantar, lahan tidur dan lahan marginal mulai saat ini dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pertanaman kedelai.
Kebijakan lain yang ikut mendorong percepatan peningkatan produksi kedelai adalah memberikan insentif (perlindungan) terhadap petani kedelai. Insentif yang diberikan dapat berupa input produksi (subsidi pupuk, subsidi benih dan sebagainya) maupun output berupa harga jual yang layak. Kebijakan ini sebagai alternatif penyeimbang terhadap penghapusan bea masuk kedelai dan jalan keluar terhadap ketimpangan antara tingkat produksi dan kebutuhan kedelai secara nasional.
Instrumen kebijakan ini memang harus dilakukan mesti akan memberikan beban yang amat besar kepada anggaran pemerintah. Apalagi dalam situasi yang semakin kompetitif ini, maka produksi kedelai harus tetap dilaksanakan dalam sistem yang efektif dan produktivitas tinggi yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang mencukupi, berkelanjutan, berkualitas dan memiliki daya saing tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar