Jumat, 05 November 2010

DAMPAK KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) TERHADAP DAYA SAING USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN TABANAN

Adanya permintaan komoditas beras Indonesia yang lebih tinggi dari penawaran menyebabkan dilaksanakannya kebijakan impor beras. Hal ini dinilai kurang menguntungkan apalagi kondisi pasar beras dunia bersifat tipis (thin market). Pengenaan tarif impor dan subsidi telah diusahakan untuk merangsang produksi domestik. Namun di sisi lain kenaikan harga BBM dan penetapan HPP untuk gabah dapat mempengaruhi daya saing usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan.

Pada umumnya masyarakat di Kabupaten Tabanan sebagai salah satu wilayah di Provinsi Bali, melakukan usahatani padi sawah dengan pola tanam padi-padi-palawija. Komoditas kedelai, merupakan bahan pangan penting yang cukup banyak ditanam pada musim tanam yang sama sebagai komoditas alternatif terbaik setelah padi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah terhadap daya saing usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan. Secara khusus adalah melihat tingkat keuntungan, daya saing, dampak kebijakan input dan output pada usahatani padi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, melihat efektivitas kebijakan HPP di tingkat petani, dan merekomendasikan besarnya HPP yang relevan agar usahatani padi tetap atraktif bagi petani.

Basis informasi primer dalam studi ini difokuskan pada sistem usahatani padi di Kabupaten Tabanan. Pengambilan sampel kelompok tani ditentukan secara purposive sampling, sedangkan pemilihan petani sebanyak 77 orang dilakukan secara acak. Sampel pedagang dan usaha penggilingan padi masing-masing dipilih sebanyak 15 orang dilakukan secara acak. Analisis data dilakukan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan (Policy Analysis Matrix=PAM)

Analisis PAM menunjukkan bahwa tingkat keuntungan dan daya saing usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan setelah kenaikan BBM lebih tinggi dibandingkan sebelum kenaikan BBM, dimana usahatani padi sawah setelah kenaikan BBM memberikan keuntungan finansial lebih tinggi sedangkan keuntungan ekonomi relatif sama (PBCR = 1,42 dan SBCR = 1,21) dibanding sebelum kenaikan BBM (PBCR = 1,33 dan SBCR = 1,22). Hasil analisis daya saing juga menunjukkan bahwa usahatani padi sawah setelah kenaikan BBM memberikan nilai Privat Cost Ratio (PCR) yang lebih rendah dibandingkan sebelum kenaikan BBM sedangkan nilai Domestic Resourse Cost (DRC) relatif tidak berbeda, dimana nilai PCR dan DRC usahatani padi sawah setelah kenaikan BBM adalah 0,67 dan 0,79 sedangkan nilai PCR dan DRC usahatani padi sawah sebelum kenaikan BBM adalah 0,71 dan 0,78. Namun usahatani padi sawah pada kedua keadaan di atas mempunyai nilai DRC dan PCR lebih kecil dari satu, hal ini berarti usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan mempunyai daya saing pada nilai ekonomis dan nilai finansial.

Dampak kebijakan input dan output pada usahatani padi sawah sebelum dan setelah kenaikan harga BBM di Kabupaten Tabanan disimpulkan dalam rincian sebagai berikut:

a. Divergensi dalam penerimaan pada usahatani padi sawah sebelum kenaikan BBM ini bernilai negatif (- Rp 685.763,19) sedangkan pada usahatani padi sawah setelah kenaikan BBM bernilai positif (Rp 1.168.308,58). Nilai negatif menunjukkan bahwa terdapat transfer penerimaan dari produsen (petani) kepada konsumen atau konsumen membeli dan produsen (petani) menerima dengan harga yang lebih rendah dari harga seharusnya, sebaliknya nilai positif menunjukkan bahwa terdapat transfer penerimaan dari konsumen terhadap produsen (petani) atau konsumen membeli dan produsen (petani) menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga seharusnya. Dari analisis Tingkat Proteksi terhadap Output atau Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) usahatani padi sawah sebelum dan setelah kenaikan BBM bernilai 0,90 dan 1,16. Hal ini berarti pada usahatani padi sawah sebelum kenaikan BBM petani menerima harga output (privat) lebih rendah sebesar 10 % dibanding harga paritas impor atau petani belum menikmati proteksi output dari pemerintah, sedangkan pada usahatani padi sawah setelah kenaikan BBM petani menerima harga output (privat) 16 % lebih tinggi dari harga dunia, dengan demikian kebijakan pemerintah tersebut memberi dampak melindungi (subsidi) kepada produsen dalam negeri dan merangsang impor jika tidak terdapat pembatasan.

b. Divergensi input tradabel pada usahatani padi sawah sebelum dan setelah kenaikan BBM bernilai negatif artinya terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih rendah atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan lebih murah daripada harga sosialnya (pasar internasional). Hal ini berarti bahwa usahatani padi sawah sebelum dan setelah kenaikan BBM menerima subsidi input. Pada analisis Tingkat Proteksi terhadap Input atau Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) usahatani padi sawah baik sebelum maupun setelah kenaikan BBM masing-masing bernilai 0,82 dan 0,76. Nilai NPCI yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa terdapat proteksi terhadap produsen input tradabel, dan sektor yang menggunakan input tersebut yaitu produsen (petani) pelaku usahatani padi sawah diuntungkan dengan rendahnya harga input tradabel. Itu berarti petani membayar 18 s.d 24 % lebih murah dari harga sosialnya. Murahnya input tradabel tersebut disebabkan oleh subsidi dari pemerintah berupa benih dan pupuk (Urea, SP-36, KCl, ZA dan NPK).

c. Dampak gabungan policy tranfers dari input dan output tradabel menunjukkan bahwa nilai Effective Protection Coefficient (EPC) usahatani padi sawah sebelum kenaikan BBM adalah 0,91. Ini berarti petani hanya memperoleh sebesar 91 % dari nilai tambah pasar persaingan sempurna. Sedangkan usahatani padi sawah setelah kenaikan BBM adalah 1,25. Nilai ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan, baik petani maupun sistem komoditas diproteksi sebesar 25 %. Itu berarti adanya kebijakan terhadap output dan input secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas, karena nilai tambah dalam nilai finansial lebih besar dari nilai tambah dalam nilai sosial.

d. Analisis Profitability Coefficient (PC) menunjukkan bahwa nilai PC usahatani padi sawah sebelum dan setelah kenaikan BBM masing-masing sebesar 1,21 dan 2,00. Itu berarti keuntungan privat lebih besar 1,21 dan 2,00 kali lipat dari keuntungan sosial. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah telah memberi insentif kepada produsen (petani) padi sawah. Sedangkan nilai Subsidy Ratio to Producers (SRP) pada usahatani padi sawah baik sebelum maupun setelah kenaikan BBM adalah 0,04 dan 1,17. Artinya, divergensi antara keuntungan privat dan sosial masing-masing sebesar 4 % dan 17 % dari pendapatan kotor (gross profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani padi sawah, karena petani padi sawah menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah.

Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan akan mencapai titik impas, yaitu pada keuntungan ekonomi nul, ketika harga gabah internasional pada usahatani padi sawah sebelum kenaikan BBM Rp 1.124,01/kg dan setelah kenaikan BBM Rp 1.139,59/kg. Sedangkan harga ekonomi gabah yang diterima produsen (petani) pada usahatani padi sawah baik sebelum dan setelah kenaikan BBM masing-masing adalah Rp 1.376,42/kg dan Rp 1.375,37/kg lebih tinggi dari titik impas.

Dari hasil analisis sensitivitas, nilai DRC sebagai indikator daya saing internasional sangat peka terhadap fluktuasi harga tingkat internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Sebagai antisipasi turunnya harga gabah di tingkat internasional maka produktivitas gabah dalam negeri harus ditingkatkan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Usaha intensifikasi dapat dilakukan dengan penggunaan sarana produksi semaksimal mungkin dan penggunaan varietas unggul.

Nilai DRC ternyata kurang peka terhadap perubahan harga bayangan pupuk. Oleh karena itu jika subsidi pupuk dalam negeri dihilangkan dan atau subsidi benih ditingkatkan, maka usahatani padi sawah masih tetap mempunyai daya saing internasional. Jadi rencana kebijakan pemerintah untuk menghapus subsidi pupuk hingga 0 % dan meningkatkan subsidi benih menjadi Rp 3.000,00 per kg dapat dilakukan karena masih memberikan subsidi kepada produsen (petani).

Berdasarkan hasil analisis PAM, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah sebesar Rp 1.730,00/kg gabah kering panen di penggilingan atau setara Rp 1.405,00/kg gabah kering panen di tingkat petani masih memberi proteksi kepada petani dan sistem komoditas di Kabupaten Tabanan sehingga kebijakan output di atas masih relevan dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar