Pemerintah
Provinsi Bali diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi sektor perekonomian
demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan daya saing di pasar global.
Sejalan dengan hal itu, pemerintah Provinsi Bali telah melakukan kerjasama
berupa kemitraan di bidang perkebunan dengan pihak swasta nasional. Pengembangan
perkebunan karet di Provinsi Bali difokuskan pada Kabupaten Jembrana, karena
secara geografis sangat cocok, bahkan tanaman tersebut sejak lama telah
diusahakan oleh Perusahaan Daerah Unit Pulukan. Kemitraan tersebut dimaksudkan
untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, efiseinsi, dan daya saing komoditas
karet yang dikelola perusahaan yang bermitra.
Tujuan
penelitian ini untuk menganalisis pengembangan bisnis komoditas karet
dengan pola kemitraan, menganalisis faktor internal
dan eksternal, merumuskan alternatif strategi yang akan dikembangkan sehingga
pola kemitraan berjalan efektif, serta menentukan prioritas strategi yang
tepat.
Penelitian ini dilakukan di
Perusahaan Daerah Bali Unit Perkebunan Pulukan yang berlokasi di Desa Pulukan,
Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, pada tahun 2011.
Pemilihan lokasi dilakukan dengan metode purporsive,
dengan pertimbangan bahwa Perusahaan Daerah Provinsi Bali saat ini melakukan
kemitraan usaha dengan PT. Citra Indah Prayasa Lestari, luas perkebunan karet yang
dikelola Perusahaan Daerah Bali Unit Perkebunan Pulukan adalah 1.060 ha.
Responden adalah stakeholdersyang berpengaruh
dalam pengembangan bisnis komoditas karet yang dipilih secara purposive. Jumlah responden sebanyak 20
responden, terdiri atas 10 responden untuk faktor internal dan 10 responden
untuk faktor eksternal dilibatkan dalam expert
meeting. Analisis data
menggunakan matriks IFAS dan EFAS, Matrik SWOT, dan QSPM.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor lingkungan internal berupa kekuatan yang berpengaruh adalah akses
pasar, permodalan dan fasilitas, kemitraan yang dituangkan dalam nota
kesepahaman (MoU), sumber daya manusia yang berpengalaman, dan kesesuaian
agroklimat. Sedang faktor lingkungan internal berupa kelemahan yang berpengaruh
adalah periode kemitraan yang baru dimulai, pembagian keuntungan dan risiko,
pembinaan kemitraan dari pemerintah, koordinasi dengan instansi terkait, dan transfer
ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor lingkungan eksternal berupa peluang yang
berpengaruh adalah permintaan pasar, harga produk yang kompetitif, tekonologi
budidaya dan prosesing, keberpihakan lembaga perbankan, dan pertumbuhan
ekonomi, suku bunga dan nilai tukar. Sedang faktor lingkungan eksternal berupa
ancaman yang berpengaruh adalah persaingan antar eksportir, produk karet
sintetis, pelanggaran terhadap nota kesepahaman (MoU), inflasi, dan situasi
keamanan.
Strategi pengembangan
bisnis komoditas karet dengan pola kemitraan menghasilkan alternatif strategi yaitu:
peningkatan akses pasar perusahaan yang bermitra, optimalisasi kemitraan
bisnis, peningkatan penguasaan teknologi produksi untuk meningkatkan daya saing
komoditas, peningkatan kualitas sumber daya manusia pelaku kemitraan, dan
soliditas kerjasama dengan instansi terkait. Prioritas strategi yang dipilih
dan menjadi pilihan utama dalam pengembangan bisnis komoditas karet dengan pola
kemitraan adalah strategi peningkatan akses pasar perusahaan yang bermitra.
Agar tidak terjadi
kehilangan penjualan serta kehilangan profit sebaiknya perusahaan yang bermitra
ini dapat memperluas pasar baik melalui pembinaan pasar yang telah ada maupun
dengan pencarian pasar-pasar baru.
Hingga tahun 2009 subsidi pupuk masih mengalami
peningkatan. Besarnya dana subsidi pupuk tersebut 17,3 triliun rupiah. Melihat besarnya
dana yang dikucurkan untuk subsidi pupuk tersebut, maka dengan alasan pembengkakan
APBN dan demi tujuan fiscal
sustainability, pemerintah menurunkan anggaran subsidi pupuk pada tahun
2010 menjadi 11,3 triliun rupiah atau turun sebesar 34,68 persen. Alasan lain
penurunan anggaran subsidi pupuk oleh pemerintah adalah kenaikan harga bahan
baku pupuk yang memang didominasi oleh bahan-bahan impor serta dikarenakan
adanya kenaikan harga gas. Hal ini jelas akan berdampak kurang baik kepada
petani. Padahal kebutuhan pupuk untuk pertanian pada tahun 2010
diperkirakan akan mengalami peningkatan. Jika tidak diikuti dengan kebijakan lain
yang mendukung akibat penurunan subsidi pupuk, dapat dipastikan kesejahteraan
petani Indonesia akan semakin terpuruk. Hal ini dikarenakanpeningkatan
produksi padi masih erat kaitannya dengan penggunaan pupuk yang berimbang.
Tujuan
dari penelitian ini adalah menganalisis keunggulan kompetitif usahatani padi
sawah sebagai dampak dari subsidi pupuk di Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dilakukan di seluruh kecamatan
kabupaten Tabanan dengan masing-masing subak terluasnya, pada tahun 2011. Penentuan
lokasi penelitian dilakukan secara purposive
sampling. Penentuan populasi dalam penelitian ini menggunakan metode
purposive random sampling. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 98 orang.
Jumlah sampel tersebut selanjutnya diambil secara proportional random sampling. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix).
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat keuntungan finansial usahatani padi sawah pada
musim kemarau di Kabupaten Tabanan sebesar Rp 5.625.704,23/ha dengan nilai PBCR = 1,40, sedangkan keuntungan
finansial pada musim hujan sebesar Rp
5.802.663,42 /hadengan nilai
PBCR = 1,39, atau terjadi perbedaan
keuntunganrelatif tipis yakni sebesar 3,15 %. Sedangkan keuntungan ekonomi usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.052.706,47/ha
dan musim hujansebesar Rp 1.234.146,40/ha,
dengan nilai SBCR masing-masing 1,28 dan 1,08.
Usahatani
padi sawah di Kabupaten Tabanan memiliki keunggulan kompetitif, karena besarnya
rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau
dan musim hujan masing-masing adalah 0,70 dan 0,69. Disamping itu usahatani
padi sawah juga memiliki keunggulan komparatif karena rasio sumberdaya domestik
(DRC) pada musim kemarau dan musim hujan adalah 0,76 dan 0,92.
Dampak
kebijakan subsidi pupuk pada
usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut:
a.Terjadi
kebijakan pajak terhadap input tradabel usahatani padi sawah pada musim
kemarau, hal ini ditunjukkan dengan divergensi input tradable sebesar Rp
167.907,63. Dari hasil analisis mendalam diketahui bahwa pajak dari pemerintah
tersebut diterima petani terhadap input tradabel seperti pupuk ZA, NPK Phonska,
pupuk organik dan pestisida. Sedangkan input tradabel lainnya berupa benih,
urea dan SP-36 diterima petani sebagai subsidi. Sebaliknya divergensi input
tradabel pada musim hujan sebesar - Rp 88.217,63 (negatif), menunjukkan adanya
kebijakan subsidi. Hal ini berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan
di Kabupaten Tabanan menerima subsidi input. Subsidi input dari pemerintah yang
diterima petani pada usahatani padi sawah pada musim hujan adalah benih, pupuk
Urea, dan SP-36.
b.Ternyata
petani membayar komponen inputtradableusahatani padi sawah pada musim kemarau lebih mahal dari harga sosialnya sebesar 15 %, sebaliknya
pada musim hujan petani terproteksi dengan membayar 6 % lebih murah dari harga sosialnya.Hal ini didasarkan pada nilai Nominal
Protection Coefficient on Input (NPCI) usaha tani padi sawah di musim kemarau
dan musim hujan masing-masing bernilai 1,15 dan 0,94.
c.Usahatani
padi sawah baik musim kemarau maupun musim hujan sama-sama menerima insentif
positif dari pemerintah. Besarnya insentif positif (nilai tambah) dari
usahatani padi pada musim kemarau adalah 143 % dari nilai tambah pasar
persaingan sempurna, sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar
125 %. Hal ini didasarkan pada nilai EPCusaha tani padi sawah pada musim
kemarau dan musim hujan masing-masing bernilai 1,43 dan 1,25.
Implikasi Kebijakan adalah penurunan subsidi pupuk
urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska hingga menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku
bunga nominal per tahun tetap 21,60 %, laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menguat atau berkisar Rp 8.500,00/US$ hingga Rp 9.250,00/US$
menyebabkan usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan baik pada musim kemarau
maupun musim hujan masih tetap memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif. Bahkan penurunan subsidi pupuk di atas, menyebabkan baik petani
maupun sistem komoditas masih menerima insentif (proteksi) dari pemerintah, dan
masih memperoleh keuntungan privat yang lebih besar dari keuntungan
ekonomisnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani padi sawah
di Kabupaten Tabanan layak untuk terus dikembangkan, namun penurunan
produktivitas gabah hingga 20 % akan menyebabkan melemahnya keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif dari usahatani padi sawah tersebut, oleh
karena itu diperlukan adanya perbaikan teknologi budidaya padi sawah,
penggunaan benih bermutu, dan melaksanakan prinsip pengendalian hama terpadu.
Kendati jambu mete tergolong dalam komoditas
unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari terhadap guncangan
pasar, yang akhirnya pelaku utama yang terlibat dalam pengusahaannya hampir
selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan akibat tekanan dan ketidaksesuaian
harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan.
Sejalan dengan liberalisasi perdagangan yang membawa
implikasi semakin ketatnya persaingan pasar, diperlukan peningkatan efisiensi
dalam upaya peningkatan daya saing. Di sisi lain, antisipasi terhadap
kontinuitas pasokan produk baik dalam jumlah maupun mutu sesuai preferensi
konsumen dan ketepatan waktu penyediaan, juga merupakan unsur prioritas untuk
dapat bersaing di pasar dunia. Namun liberalisasi perdagangan juga menimbulkan
masalah jika komoditas yang diproduksi tidak mampu bersaing dengan negara lain.
Karena itu, untuk dapat mengestimasi dengan tepat
terhadap keunggulan komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem, maka
diperlukan suatu penilaian ekonomi. Keunggulan tersebut dapat dinilai dari
aspek keuntungan usaha tani (private profit) dan keuntungan usaha tani
di tingkat pasar internasional (social profit), serta peluanginvestasi
yang ada.
Secara
umum tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi posisi komoditas unggulan jambu mete di pasar
internasional dan menyusun rencana aksi untuk pengembangan komoditas unggulan
di Kabupaten Karangasem. Namun secara khusus untuk mengkaji keuntungan dari kegiatan usahatani
komoditas unggulan jambu mete, mengkaji daya saing komoditas unggulan jambu
mete di pasar internasional dan mengkaji divergensi dan dampak kebijakan
(distorsi pasar) pada input dan output dari komoditas unggulan jambu mete.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem
dengan lokasi penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu pada tahun 2011.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling,
sedangkan pemilihan petani sebanyak 25 orang dilakukan secara acak.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan (policy analysis matrix=PAM) Data yang dibutuhkan untuk menghitung
profitabilitas privat dan sosial dikumpulkan melalui survei dan dari sumber
lain.
Hasil analisis PAM multi period jambu mete selama 18
tahun, menunjukkan bahwa secara
privat (finansial) rata-rata total penerimaan (total revenue) petani adalah sebesar Rp 105.108.724,11 per ha
dengan total biaya (total cost)
sebesar Rp 29.615.806,96 per ha maka keuntungan finansialyang
diperoleh sebesar Rp 75.492.917,15
per ha, dengan nilai PBCR
sebesar 3,55. Sedangkan secara sosial (ekonomi) menunjukkan bahwa rata-rata total penerimaan (total revenue) adalah sebesar Rp 97.506.794,88 per ha dengan total
biaya (total cost) sebesar Rp
88.874.519,12 per ha maka keuntungan
ekonomipetani dari usahatani jambu mete di Kabupaten
Karangasem adalah sebesar Rp 8.632.275,76
per ha.dengan nilai SBCR
sebesar 1,10.
Usahatani komoditas
jambu mete di Kabupaten Karangasemmemiliki daya saing secara internasional,
karena besarnya rasio sumberdaya domestik (DRC) yang ditimbulkan lebih kecil
dari satu, yaitu sebesar 0,91. Disamping itu juga memiliki daya saing secara
finansial, karena rasio biaya privat yang ditimbulkan lebih kecil dari satu,
yaitu sebesar 0,24.
Dampak
kebijakan pemerintah terhadap sistim komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasemadalah sebagai berikut:
a.Divergensi
dalam penerimaan (revenue) sebesar Rp
7.601.929,23 per ha (bernilai positif) disebabkan oleh perbedaan harga privat
yang diterima petani dengan harga sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
transfer penerimaan dari konsumen kepada produsen (petani) atau konsumen
membeli dan produsen (petani) menerima dengan harga yang lebih tinggi dari
harga seharusnya. Dari analisis tingkat proteksi terhadap output, nilai NPCO yang
dihasilkan adalah 1,08 atau petani menerima harga output (privat) lebih tinggi
sebesar 8% dibanding harga paritas impor. Dapat dikatakan bahwa petani jambu
mete di Kabupaten Karangasem dalam melakukan usahataninya telah menikmati
proteksi atau perlindungan output dari pemerintah.
b.Divergensi input yang diperdagangkan (tradable) sebesar – Rp 419.039,08 per ha. Itu
berarti terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih rendah
atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan lebih murah
daripada harga sosialnya (pasar internasional). Dapat dikatakan nilai negatif
pada divergensi input tradabel menunjukkan adanya kebijakan subsidi.
c.Divergensi faktor domestik pada usahatani komoditas
jambu mete menunjukkan nilai negatif, atau sebesar – Rp 58.839.673,09 per ha.
Nilai divergensi faktor domestik yang negatif menunjukkan adanya kebijakan
subsidi dari pemerintah.
d.Divergensi keuntungan bersih (net profit) usahatani jambu mete sebesar Rp 66.860.641,39 per ha.
Nilai divergensi keuntungan bersih (net
profit) yang positif, berarti bahwa terdapat kebijakan insentif pada
usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem, membuat surplus pada produsen
(petani) bertambah atau kebijakan insentif membuat usahatani jambu mete menjadi
efisien.
e.Analisis effective
protection coefficient (EPC) bernilai 1,09 atau lebih besar dari satu. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai tambah privat lebih besar dari nilai tambah sosial,
atau terdapat insentif positif dari pemerintah pada sistem komoditas tersebut.
Besarnya proteksi yang diterima petani dan sistem komoditas jambu mete di
Kabupaten Karangasem adalah sebesar 9%. Itu berarti adanya kebijakan terhadap
output dan input secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas.
f.Nilai PC usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah
8,75. Nilai ini menunjukkan keuntungan privat (finansial) yang jauh lebih
besar, yaitu lebih dari 8,75 kali lipat dari keuntungan sosial (ekonomis). Berdasarkan
nilai PC ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan berbagai kebijakan
pemerintah yang diterapkan pada usahatani jambu mete mengakibatkan keuntungan
bertambah.
g.Subsidy ratio to producers
(SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer
effects yang terjadi. Hasil analisis diperoleh nilai SRP sebesar 0,69. Itu
berarti divergensi antara keuntungan finansial dan ekonomi pada usahatani jambu
mete sekitar 69% dari pendapatan kotor (gross
profit). Besarnya transfer positif (positive
transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau
distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani jambu
mete, karena petani jambu mete menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak
ada kebijakan pemerintah.
Usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem akan
mencapai titik impas, ketika harga mete gelondongan kering internasional
sebesar Rp 4.902,28 per kg. Sedangkan, harga mete gelondongan kering
internasional yang diterima petani pada periode penelitian adalah sebesar Rp
10.204,43 per kg lebih tinggi dari titik impas. Tingginya harga mete
gelondongan kering internasional ini, mencerminkan risk premium yang ditanggung oleh importir jauh di atas titik impas
dan menunjukkan tingginya keuntungan ekonomi yang diterima petani.
Jika harga
bayangan output turun
sebesar 20 %sehingga harga bayangan menjadi Rp 8.103,54 per kg mete gelondongan kering. Pada kondisi
ini usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem masih tetap memiliki daya
saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif), namun sudah tidak lagi
memiliki keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomi), karena nilai
DRC meningkat menjadi 1,16.
Jika biaya transportasi naik sebesar 25 % sebagai
dampak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), menyebabkan nilai PCR dan DRC lebih kecil
dari satu. Keadaan ini menunjukkan bahwa usahatani jambu mete masih tetap
memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomi
(keunggulan komparatif). Namun tingkat daya saing pada nilai ekonomi
(keunggulan komparatif) semakin melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai
DRC meningkat menjadi 0,95.
Jika produktivitas mete gelondongan kering turun
sebesar 20 % akan meningkatkan nilai PCR, DRC dan SRP. Itu berarti bahwa
usahatani jambu mete masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial
(keunggulan kompetitif) karena nilai PCR masih < 1. Namun tingkat daya saing
pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) tersebut semakin melemah dibandingkan
sebelumnya, karena nilai PCR meningkat menjadi 0,30. Sebaliknya penurunan
produktivitas mete gelondongan kering sebesar 20 % menyebabkan hilangnya
tingkat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan komparatif), karena nilai DRC
meningkat menjadi 1,15.
Perubahan nilai tukar rupiah pada interval Rp 8.500,00 per $ US sampai dengan Rp 10.000,00 per $ US,menyebabkan sistim
usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem tetap memiliki daya
saing secara finansial dan daya saing secara ekonomi. Ada kecenderungan semakin
menguatnya nilai tukar rupiah
(apresiasi) semakin kuat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan
komparatif).
Oleh karena hasil analisis menunjukkan bahwa nilai
PCR (0,24 ) lebih kecil dari nilai DRC (0,91), maka usahatani komoditas jambu mete
di Kabupaten Karangasem sebenarnya masih tetap memerlukan campur tangan
pemerintah untuk menunjang daya saing pada nilai ekonomi (internasional).
Kebijakan pemerintah yang sesuai dengan ketentuan WTO antara lain berupa
tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani.
Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas
jambu mete di Kabupaten Karangasem layak untuk terus dikembangkan, namun
penurunan produktivitas mete gelondongan kering hingga 20 % akan menyebabkan
melemahnya daya saing pada nilai finansial dan hilangnya daya saing pada nilai
ekonomi, oleh karena itu diperlukan adanya pemeliharaan tanaman jambu mete
secara baik dan upaya perbaikan teknologi budidaya tanaman jambu mete.
Keberhasilan sektor pariwisata yang telah mengangkat
perekonomian Kabupaten Badung membuat ketidak seimbangan pembangunan antar
sektor. Dimana sektor pertanian yang merupakan sektor primer akan terabaikan,
yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan produktivitas tenaga kerja sektor
pertanian lebih kecil dari luar sektor pertanian.
Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis usahatani pertanian
sawah di Kabupaten Badung, mengidentifikasi dan
menganalisis faktor-faktor pendukung yang dimiliki untuk mempertahankan
pertanian sawah dan merumuskan alternatif strategi yang tepat untuk
mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung pada tahun 2009, dengan
pertimbangan bahwa Kabupaten Badung memiliki pertanian sawah yang tiap tahunnya
mengalami penyusutan lahan karena adanya alih fungsi lahan akibat perkembangan
pembangunan sektor pariwisata dan pertanian sawah di Kabupaten Badung memiliki
peran strategis yaitu sebagai penyedia bahan pangan, disamping itu aktifitas
pertanian sawah dapat menjamin konservasi atau pelestarian sumber daya alam maupun
budaya.
Responden dalam penelitian ini adalah parastakeholders bidang pertanian
dan instansi terkait lainnya di
Kabupaten Badung, praktisi pertanian dan pengamat pertanian, dengan mengadakan interview. Analisis data menggunakan matriks IFAS dan EFAS, Matrik SWOT, dan QSPM.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa analisis usahatani komoditas padi pada berbagai musim tanam, kedelai,
jagung dan kacang tanah pada pertanian sawah di Kabupaten Badung menguntungkan.
Faktor kekuatan mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung adalah kebijakan
pemerintah kabupaten dalam mendukung peningkatan produksi padi sawah, perencanaan
program pembangunan pertanian daerah, soliditas aparat pertanian dan instansi
terkait lainnya, kuantitas dan kualitas sumber daya aparat, prasarana dan
sarana. Sedangkan faktor kelemahan adalah pembinaan
kerjasama dalam pemasaran hasil di tingkat lapang, monitoring dan evaluasi, alokasi
dana untuk kegiatan penyuluhan, kinerja pelayanan aparat terhadap masyarakat
tani, dan keterlambatan realisasi APBD kabupaten untuk pertanian sawah. Peluang
mempertahankan pertanian sawah adalah kesesuaian
lahan dan iklim, adanya lembaga persubakan, teknologi usahatani padi, adanya
mitra usaha, adanya lembaga keuangan yang menyediakan kredit untuk usaha
pertanian, permintaan beras dan kebijakan pemerintah pusat dan provinsi yang
mendukung pertanian sawah. Sedangkan ancamannya adalah tingkat pendidikan
petani dan minat generasi muda dibidang pertanian sawah, alih fungsi lahan
pertanian sawah, sistim tebasan menyebabkan harga gabah rendah, serangan
organisme pengganggu tanaman, pertambahan penduduk, dan pasar bebas. Analisis Matriks IFAS dan EFAS, menunjukkan bahwa secara
internal adalah kuat. Itu berarti bahwa posisi internal Pemerintah Kabupaten Badung dalam
mempertahankan pertanian sawah mampu
memanfaatkan faktor-faktor kekuatan yang ada untuk mengatasi faktor-faktor kelemahan. Sedangkan secara eksternal menunjukkan lemah,ini berarti posisi eksternal dalam mempertahankan
pertanian sawah tidak dapat memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman yang
ada. Analisis SWOT menghasilkan delapan alternatif
strategi yakni: optimalisasi lahan dan lembaga
persubakan dalam peningkatan hasil pertanian sawah, perbaikan mutu intensifikasi
pertanian dan kualitas beras, konsistensi RUTR dan penumbuhan minat generasi muda
di bidang pertanian, meningkatkan daya saing pertanian sawah dengan melakukan
perlindungan kepada petani, pengembangan kerjasama pemasaran
hasil dengan mitra usaha, pengembangan kerjasama permodalan dengan lembaga
keuangan, peningkatan kinerja aparat pertanian untuk kesejahteraan petani, peningkatan
monitoring dan evaluasi pembangunan pertanian sawah.Analisis QSPM menunjukkan bahwa strategi yang
mempunyai daya tarik paling tinggi dan menjadi pilihan utama dari alternatif
strategi mempertahankan pertanian sawah adalah strategi optimalisasi lahan dan lembaga
persubakan dalam peningkatan hasil pertanian sawah.
Penelitian ini merekomendasikan akan pentingnya menjaga keseimbangan pembangunan antara kegiatan
pariwisata dan kegiatan pertanian sawah sehingga kelestarian
obyek dan daya tarik wisata dapat dipertahankan. Oleh karenanya
perencanaan pembangunan pertanian seyogyanya melibatkan lembaga persubakan,
praktisi dan pengamat pertanian secara partisipatif.