Kendati jambu mete tergolong dalam komoditas
unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari terhadap guncangan
pasar, yang akhirnya pelaku utama yang terlibat dalam pengusahaannya hampir
selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan akibat tekanan dan ketidaksesuaian
harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan.
Sejalan dengan liberalisasi perdagangan yang membawa
implikasi semakin ketatnya persaingan pasar, diperlukan peningkatan efisiensi
dalam upaya peningkatan daya saing. Di sisi lain, antisipasi terhadap
kontinuitas pasokan produk baik dalam jumlah maupun mutu sesuai preferensi
konsumen dan ketepatan waktu penyediaan, juga merupakan unsur prioritas untuk
dapat bersaing di pasar dunia. Namun liberalisasi perdagangan juga menimbulkan
masalah jika komoditas yang diproduksi tidak mampu bersaing dengan negara lain.
Karena itu, untuk dapat mengestimasi dengan tepat
terhadap keunggulan komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem, maka
diperlukan suatu penilaian ekonomi. Keunggulan tersebut dapat dinilai dari
aspek keuntungan usaha tani (private profit) dan keuntungan usaha tani
di tingkat pasar internasional (social profit), serta peluang investasi
yang ada.
Secara
umum tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi posisi komoditas unggulan jambu mete di pasar
internasional dan menyusun rencana aksi untuk pengembangan komoditas unggulan
di Kabupaten Karangasem. Namun secara khusus untuk mengkaji keuntungan dari kegiatan usahatani
komoditas unggulan jambu mete, mengkaji daya saing komoditas unggulan jambu
mete di pasar internasional dan mengkaji divergensi dan dampak kebijakan
(distorsi pasar) pada input dan output dari komoditas unggulan jambu mete.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem
dengan lokasi penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu pada tahun 2011.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling,
sedangkan pemilihan petani sebanyak 25 orang dilakukan secara acak.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan (policy analysis matrix=PAM) Data yang dibutuhkan untuk menghitung
profitabilitas privat dan sosial dikumpulkan melalui survei dan dari sumber
lain.
Hasil analisis PAM multi period jambu mete selama 18
tahun, menunjukkan bahwa secara
privat (finansial) rata-rata total penerimaan (total revenue) petani adalah sebesar Rp 105.108.724,11 per ha
dengan total biaya (total cost)
sebesar Rp 29.615.806,96 per ha maka keuntungan finansial yang
diperoleh sebesar Rp 75.492.917,15
per ha, dengan nilai PBCR
sebesar 3,55. Sedangkan secara sosial (ekonomi) menunjukkan bahwa rata-rata total penerimaan (total revenue) adalah sebesar Rp 97.506.794,88 per ha dengan total
biaya (total cost) sebesar Rp
88.874.519,12 per ha maka keuntungan
ekonomi petani dari usahatani jambu mete di Kabupaten
Karangasem adalah sebesar Rp 8.632.275,76
per ha.dengan nilai SBCR
sebesar 1,10.
Usahatani komoditas
jambu mete di Kabupaten Karangasem memiliki daya saing secara internasional,
karena besarnya rasio sumberdaya domestik (DRC) yang ditimbulkan lebih kecil
dari satu, yaitu sebesar 0,91. Disamping itu juga memiliki daya saing secara
finansial, karena rasio biaya privat yang ditimbulkan lebih kecil dari satu,
yaitu sebesar 0,24.
Dampak
kebijakan pemerintah terhadap sistim komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah sebagai berikut:
a. Divergensi
dalam penerimaan (revenue) sebesar Rp
7.601.929,23 per ha (bernilai positif) disebabkan oleh perbedaan harga privat
yang diterima petani dengan harga sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
transfer penerimaan dari konsumen kepada produsen (petani) atau konsumen
membeli dan produsen (petani) menerima dengan harga yang lebih tinggi dari
harga seharusnya. Dari analisis tingkat proteksi terhadap output, nilai NPCO yang
dihasilkan adalah 1,08 atau petani menerima harga output (privat) lebih tinggi
sebesar 8% dibanding harga paritas impor. Dapat dikatakan bahwa petani jambu
mete di Kabupaten Karangasem dalam melakukan usahataninya telah menikmati
proteksi atau perlindungan output dari pemerintah.
b.
Divergensi input yang diperdagangkan (tradable) sebesar – Rp 419.039,08 per ha. Itu
berarti terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih rendah
atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan lebih murah
daripada harga sosialnya (pasar internasional). Dapat dikatakan nilai negatif
pada divergensi input tradabel menunjukkan adanya kebijakan subsidi.
c.
Divergensi faktor domestik pada usahatani komoditas
jambu mete menunjukkan nilai negatif, atau sebesar – Rp 58.839.673,09 per ha.
Nilai divergensi faktor domestik yang negatif menunjukkan adanya kebijakan
subsidi dari pemerintah.
d.
Divergensi keuntungan bersih (net profit) usahatani jambu mete sebesar Rp 66.860.641,39 per ha.
Nilai divergensi keuntungan bersih (net
profit) yang positif, berarti bahwa terdapat kebijakan insentif pada
usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem, membuat surplus pada produsen
(petani) bertambah atau kebijakan insentif membuat usahatani jambu mete menjadi
efisien.
e.
Analisis effective
protection coefficient (EPC) bernilai 1,09 atau lebih besar dari satu. Hal
ini menunjukkan bahwa nilai tambah privat lebih besar dari nilai tambah sosial,
atau terdapat insentif positif dari pemerintah pada sistem komoditas tersebut.
Besarnya proteksi yang diterima petani dan sistem komoditas jambu mete di
Kabupaten Karangasem adalah sebesar 9%. Itu berarti adanya kebijakan terhadap
output dan input secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas.
f.
Nilai PC usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah
8,75. Nilai ini menunjukkan keuntungan privat (finansial) yang jauh lebih
besar, yaitu lebih dari 8,75 kali lipat dari keuntungan sosial (ekonomis). Berdasarkan
nilai PC ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan berbagai kebijakan
pemerintah yang diterapkan pada usahatani jambu mete mengakibatkan keuntungan
bertambah.
g.
Subsidy ratio to producers
(SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer
effects yang terjadi. Hasil analisis diperoleh nilai SRP sebesar 0,69. Itu
berarti divergensi antara keuntungan finansial dan ekonomi pada usahatani jambu
mete sekitar 69% dari pendapatan kotor (gross
profit). Besarnya transfer positif (positive
transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau
distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani jambu
mete, karena petani jambu mete menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak
ada kebijakan pemerintah.
Usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem akan
mencapai titik impas, ketika harga mete gelondongan kering internasional
sebesar Rp 4.902,28 per kg. Sedangkan, harga mete gelondongan kering
internasional yang diterima petani pada periode penelitian adalah sebesar Rp
10.204,43 per kg lebih tinggi dari titik impas. Tingginya harga mete
gelondongan kering internasional ini, mencerminkan risk premium yang ditanggung oleh importir jauh di atas titik impas
dan menunjukkan tingginya keuntungan ekonomi yang diterima petani.
Jika harga
bayangan output turun
sebesar 20 % sehingga harga bayangan menjadi Rp 8.103,54 per kg mete gelondongan kering. Pada kondisi
ini usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem masih tetap memiliki daya
saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif), namun sudah tidak lagi
memiliki keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomi), karena nilai
DRC meningkat menjadi 1,16.
Jika biaya transportasi naik sebesar 25 % sebagai
dampak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), menyebabkan nilai PCR dan DRC lebih kecil
dari satu. Keadaan ini menunjukkan bahwa usahatani jambu mete masih tetap
memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomi
(keunggulan komparatif). Namun tingkat daya saing pada nilai ekonomi
(keunggulan komparatif) semakin melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai
DRC meningkat menjadi 0,95.
Jika produktivitas mete gelondongan kering turun
sebesar 20 % akan meningkatkan nilai PCR, DRC dan SRP. Itu berarti bahwa
usahatani jambu mete masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial
(keunggulan kompetitif) karena nilai PCR masih < 1. Namun tingkat daya saing
pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) tersebut semakin melemah dibandingkan
sebelumnya, karena nilai PCR meningkat menjadi 0,30. Sebaliknya penurunan
produktivitas mete gelondongan kering sebesar 20 % menyebabkan hilangnya
tingkat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan komparatif), karena nilai DRC
meningkat menjadi 1,15.
Perubahan nilai tukar rupiah pada interval Rp 8.500,00 per $ US sampai dengan Rp 10.000,00 per $ US, menyebabkan sistim
usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem tetap memiliki daya
saing secara finansial dan daya saing secara ekonomi. Ada kecenderungan semakin
menguatnya nilai tukar rupiah
(apresiasi) semakin kuat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan
komparatif).
Oleh karena hasil analisis menunjukkan bahwa nilai
PCR (0,24 ) lebih kecil dari nilai DRC (0,91), maka usahatani komoditas jambu mete
di Kabupaten Karangasem sebenarnya masih tetap memerlukan campur tangan
pemerintah untuk menunjang daya saing pada nilai ekonomi (internasional).
Kebijakan pemerintah yang sesuai dengan ketentuan WTO antara lain berupa
tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani.
Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas
jambu mete di Kabupaten Karangasem layak untuk terus dikembangkan, namun
penurunan produktivitas mete gelondongan kering hingga 20 % akan menyebabkan
melemahnya daya saing pada nilai finansial dan hilangnya daya saing pada nilai
ekonomi, oleh karena itu diperlukan adanya pemeliharaan tanaman jambu mete
secara baik dan upaya perbaikan teknologi budidaya tanaman jambu mete.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar