Minggu, 06 Mei 2012

STRATEGI PENGEMBANGAN BISNIS KOMODITAS KARET DENGAN POLA KEMITRAAN DI PROVINSI BALI


Pemerintah Provinsi Bali diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi sektor perekonomian demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan daya saing di pasar global. Sejalan dengan hal itu, pemerintah Provinsi Bali telah melakukan kerjasama berupa kemitraan di bidang perkebunan dengan pihak swasta nasional. Pengembangan perkebunan karet di Provinsi Bali difokuskan pada Kabupaten Jembrana, karena secara geografis sangat cocok, bahkan tanaman tersebut sejak lama telah diusahakan oleh Perusahaan Daerah Unit Pulukan. Kemitraan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, efiseinsi, dan daya saing komoditas karet yang dikelola perusahaan yang bermitra.
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengembangan bisnis komoditas karet dengan pola kemitraan, menganalisis faktor internal dan eksternal, merumuskan alternatif strategi yang akan dikembangkan sehingga pola kemitraan berjalan efektif, serta menentukan prioritas strategi yang tepat.
Penelitian ini dilakukan di Perusahaan Daerah Bali Unit Perkebunan Pulukan yang berlokasi di Desa Pulukan, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, pada tahun 2011. Pemilihan lokasi dilakukan dengan metode purporsive, dengan pertimbangan bahwa Perusahaan Daerah Provinsi Bali saat ini melakukan kemitraan usaha dengan PT. Citra Indah Prayasa Lestari, luas perkebunan karet yang dikelola Perusahaan Daerah Bali Unit Perkebunan Pulukan adalah 1.060 ha.
Responden adalah stakeholders yang berpengaruh dalam pengembangan bisnis komoditas karet yang dipilih secara purposive. Jumlah responden sebanyak 20 responden, terdiri atas 10 responden untuk faktor internal dan 10 responden untuk faktor eksternal dilibatkan dalam expert meeting. Analisis data menggunakan matriks IFAS dan EFAS, Matrik SWOT, dan QSPM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan internal berupa kekuatan yang berpengaruh adalah akses pasar, permodalan dan fasilitas, kemitraan yang dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU), sumber daya manusia yang berpengalaman, dan kesesuaian agroklimat. Sedang faktor lingkungan internal berupa kelemahan yang berpengaruh adalah periode kemitraan yang baru dimulai, pembagian keuntungan dan risiko, pembinaan kemitraan dari pemerintah, koordinasi dengan instansi terkait, dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktor lingkungan eksternal berupa peluang yang berpengaruh adalah permintaan pasar, harga produk yang kompetitif, tekonologi budidaya dan prosesing, keberpihakan lembaga perbankan, dan pertumbuhan ekonomi, suku bunga dan nilai tukar. Sedang faktor lingkungan eksternal berupa ancaman yang berpengaruh adalah persaingan antar eksportir, produk karet sintetis, pelanggaran terhadap nota kesepahaman (MoU), inflasi, dan situasi keamanan.
Strategi pengembangan bisnis komoditas karet dengan pola kemitraan menghasilkan alternatif strategi yaitu: peningkatan akses pasar perusahaan yang bermitra, optimalisasi kemitraan bisnis, peningkatan penguasaan teknologi produksi untuk meningkatkan daya saing komoditas, peningkatan kualitas sumber daya manusia pelaku kemitraan, dan soliditas kerjasama dengan instansi terkait. Prioritas strategi yang dipilih dan menjadi pilihan utama dalam pengembangan bisnis komoditas karet dengan pola kemitraan adalah strategi peningkatan akses pasar perusahaan yang bermitra.
Agar tidak terjadi kehilangan penjualan serta kehilangan profit sebaiknya perusahaan yang bermitra ini dapat memperluas pasar baik melalui pembinaan pasar yang telah ada maupun dengan pencarian pasar-pasar baru.

Sabtu, 05 Mei 2012

DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNGGULAN KOMPETITIF USAHATANI PADI DI KABUPATEN TABANAN

Hingga tahun 2009 subsidi pupuk masih mengalami peningkatan. Besarnya dana subsidi pupuk tersebut 17,3 triliun rupiah. Melihat besarnya dana yang dikucurkan untuk subsidi pupuk tersebut, maka dengan alasan pembengkakan APBN dan demi tujuan fiscal sustainability, pemerintah menurunkan anggaran subsidi pupuk pada tahun 2010 menjadi 11,3 triliun rupiah atau turun sebesar 34,68 persen. Alasan lain penurunan anggaran subsidi pupuk oleh pemerintah adalah kenaikan harga bahan baku pupuk yang memang didominasi oleh bahan-bahan impor serta dikarenakan adanya kenaikan harga gas. Hal ini jelas akan berdampak kurang baik kepada petani. Padahal kebutuhan pupuk untuk pertanian pada tahun 2010 diperkirakan akan mengalami peningkatan. Jika tidak diikuti dengan kebijakan lain yang mendukung akibat penurunan subsidi pupuk, dapat dipastikan kesejahteraan petani Indonesia akan semakin terpuruk. Hal ini dikarenakan peningkatan produksi padi masih erat kaitannya dengan penggunaan pupuk yang berimbang.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keunggulan kompetitif usahatani padi sawah sebagai dampak dari subsidi pupuk di Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dilakukan di seluruh kecamatan kabupaten Tabanan dengan masing-masing subak terluasnya, pada tahun 2011. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling. Penentuan populasi dalam penelitian ini menggunakan metode purposive random sampling. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 98 orang. Jumlah sampel tersebut selanjutnya diambil secara proportional random sampling. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan sebesar Rp 5.625.704,23/ha dengan nilai PBCR = 1,40, sedangkan keuntungan finansial pada musim hujan sebesar Rp 5.802.663,42 /ha dengan nilai PBCR = 1,39, atau terjadi perbedaan keuntungan relatif tipis yakni sebesar 3,15 %. Sedangkan keuntungan ekonomi usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.052.706,47/ha dan musim hujan sebesar Rp 1.234.146,40/ha, dengan nilai SBCR masing-masing 1,28 dan 1,08.
Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan memiliki keunggulan kompetitif, karena besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing adalah 0,70 dan 0,69. Disamping itu usahatani padi sawah juga memiliki keunggulan komparatif karena rasio sumberdaya domestik (DRC) pada musim kemarau dan musim hujan adalah 0,76 dan 0,92.
Dampak kebijakan subsidi pupuk pada usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut:
a.       Terjadi kebijakan pajak terhadap input tradabel usahatani padi sawah pada musim kemarau, hal ini ditunjukkan dengan divergensi input tradable sebesar Rp 167.907,63. Dari hasil analisis mendalam diketahui bahwa pajak dari pemerintah tersebut diterima petani terhadap input tradabel seperti pupuk ZA, NPK Phonska, pupuk organik dan pestisida. Sedangkan input tradabel lainnya berupa benih, urea dan SP-36 diterima petani sebagai subsidi. Sebaliknya divergensi input tradabel pada musim hujan sebesar - Rp 88.217,63 (negatif), menunjukkan adanya kebijakan subsidi. Hal ini berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Tabanan menerima subsidi input. Subsidi input dari pemerintah yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada musim hujan adalah benih, pupuk Urea, dan SP-36.
b.      Ternyata petani membayar komponen input tradable usahatani padi sawah pada musim kemarau lebih mahal dari harga sosialnya sebesar 15 %, sebaliknya pada musim hujan petani terproteksi dengan membayar 6 % lebih murah dari harga sosialnya. Hal ini didasarkan pada nilai Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) usaha tani padi sawah di musim kemarau dan musim hujan masing-masing bernilai 1,15 dan 0,94.
c.       Usahatani padi sawah baik musim kemarau maupun musim hujan sama-sama menerima insentif positif dari pemerintah. Besarnya insentif positif (nilai tambah) dari usahatani padi pada musim kemarau adalah 143 % dari nilai tambah pasar persaingan sempurna, sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan sebesar 125 %. Hal ini didasarkan pada nilai EPC usaha tani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing bernilai 1,43 dan 1,25.
Implikasi Kebijakan adalah penurunan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska hingga menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku bunga nominal per tahun tetap 21,60 %, laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menguat atau berkisar Rp 8.500,00/US$ hingga Rp 9.250,00/US$ menyebabkan usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan baik pada musim kemarau maupun musim hujan masih tetap memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Bahkan penurunan subsidi pupuk di atas, menyebabkan baik petani maupun sistem komoditas masih menerima insentif (proteksi) dari pemerintah, dan masih memperoleh keuntungan privat yang lebih besar dari keuntungan ekonomisnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan layak untuk terus dikembangkan, namun penurunan produktivitas gabah hingga 20 % akan menyebabkan melemahnya keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari usahatani padi sawah tersebut, oleh karena itu diperlukan adanya perbaikan teknologi budidaya padi sawah, penggunaan benih bermutu, dan melaksanakan prinsip pengendalian hama terpadu.

Jumat, 04 Mei 2012

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS JAMBU METE DI KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI


Kendati jambu mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari terhadap guncangan pasar, yang akhirnya pelaku utama yang terlibat dalam pengusahaannya hampir selalu berada pada posisi yang kurang diuntungkan akibat tekanan dan ketidaksesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan.
Sejalan dengan liberalisasi perdagangan yang membawa implikasi semakin ketatnya persaingan pasar, diperlukan peningkatan efisiensi dalam upaya peningkatan daya saing. Di sisi lain, antisipasi terhadap kontinuitas pasokan produk baik dalam jumlah maupun mutu sesuai preferensi konsumen dan ketepatan waktu penyediaan, juga merupakan unsur prioritas untuk dapat bersaing di pasar dunia. Namun liberalisasi perdagangan juga menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi tidak mampu bersaing dengan negara lain.
Karena itu, untuk dapat mengestimasi dengan tepat terhadap keunggulan komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem, maka diperlukan suatu penilaian ekonomi. Keunggulan tersebut dapat dinilai dari aspek keuntungan usaha tani (private profit) dan keuntungan usaha tani di tingkat pasar internasional (social profit), serta peluang investasi yang ada.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi posisi komoditas unggulan jambu mete di pasar internasional dan menyusun rencana aksi untuk pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Karangasem. Namun secara khusus untuk mengkaji keuntungan dari kegiatan usahatani komoditas unggulan jambu mete, mengkaji daya saing komoditas unggulan jambu mete di pasar internasional dan mengkaji divergensi dan dampak kebijakan (distorsi pasar) pada input dan output dari komoditas unggulan jambu mete.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu pada tahun 2011. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, sedangkan pemilihan petani sebanyak 25 orang dilakukan secara acak. Analisis data dilakukan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan (policy analysis matrix=PAM) Data yang dibutuhkan untuk menghitung profitabilitas privat dan sosial dikumpulkan melalui survei dan dari sumber lain.
Hasil analisis PAM multi period jambu mete selama 18 tahun, menunjukkan bahwa secara privat (finansial) rata-rata total penerimaan (total revenue) petani adalah sebesar Rp 105.108.724,11 per ha dengan total biaya (total cost) sebesar Rp 29.615.806,96 per ha maka keuntungan finansial yang diperoleh sebesar Rp 75.492.917,15 per ha, dengan nilai PBCR sebesar 3,55. Sedangkan secara sosial (ekonomi) menunjukkan bahwa rata-rata total penerimaan (total revenue) adalah sebesar Rp 97.506.794,88 per ha dengan total biaya (total cost) sebesar Rp 88.874.519,12 per ha maka keuntungan ekonomi petani dari usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah sebesar Rp 8.632.275,76 per ha.dengan nilai SBCR sebesar 1,10.
Usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem memiliki daya saing secara internasional, karena besarnya rasio sumberdaya domestik (DRC) yang ditimbulkan lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,91. Disamping itu juga memiliki daya saing secara finansial, karena rasio biaya privat yang ditimbulkan lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,24.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap sistim komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah sebagai berikut:
a.       Divergensi dalam penerimaan (revenue) sebesar Rp 7.601.929,23 per ha (bernilai positif) disebabkan oleh perbedaan harga privat yang diterima petani dengan harga sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat transfer penerimaan dari konsumen kepada produsen (petani) atau konsumen membeli dan produsen (petani) menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga seharusnya. Dari analisis tingkat proteksi terhadap output, nilai NPCO yang dihasilkan adalah 1,08 atau petani menerima harga output (privat) lebih tinggi sebesar 8% dibanding harga paritas impor. Dapat dikatakan bahwa petani jambu mete di Kabupaten Karangasem dalam melakukan usahataninya telah menikmati proteksi atau perlindungan output dari pemerintah.
b.      Divergensi input yang diperdagangkan (tradable) sebesar – Rp 419.039,08 per ha. Itu berarti terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih rendah atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan lebih murah daripada harga sosialnya (pasar internasional). Dapat dikatakan nilai negatif pada divergensi input tradabel menunjukkan adanya kebijakan subsidi.
c.       Divergensi faktor domestik pada usahatani komoditas jambu mete menunjukkan nilai negatif, atau sebesar – Rp 58.839.673,09 per ha. Nilai divergensi faktor domestik yang negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi dari pemerintah.
d.      Divergensi keuntungan bersih (net profit) usahatani jambu mete sebesar Rp 66.860.641,39 per ha. Nilai divergensi keuntungan bersih (net profit) yang positif, berarti bahwa terdapat kebijakan insentif pada usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem, membuat surplus pada produsen (petani) bertambah atau kebijakan insentif membuat usahatani jambu mete menjadi efisien.
e.       Analisis effective protection coefficient (EPC) bernilai 1,09 atau lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah privat lebih besar dari nilai tambah sosial, atau terdapat insentif positif dari pemerintah pada sistem komoditas tersebut. Besarnya proteksi yang diterima petani dan sistem komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah sebesar 9%. Itu berarti adanya kebijakan terhadap output dan input secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas.
f.       Nilai PC usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem adalah 8,75. Nilai ini menunjukkan keuntungan privat (finansial) yang jauh lebih besar, yaitu lebih dari 8,75 kali lipat dari keuntungan sosial (ekonomis). Berdasarkan nilai PC ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan berbagai kebijakan pemerintah yang diterapkan pada usahatani jambu mete mengakibatkan keuntungan bertambah.
g.      Subsidy ratio to producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer effects yang terjadi. Hasil analisis diperoleh nilai SRP sebesar 0,69. Itu berarti divergensi antara keuntungan finansial dan ekonomi pada usahatani jambu mete sekitar 69% dari pendapatan kotor (gross profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani jambu mete, karena petani jambu mete menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah.
Usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem akan mencapai titik impas, ketika harga mete gelondongan kering internasional sebesar Rp 4.902,28 per kg. Sedangkan, harga mete gelondongan kering internasional yang diterima petani pada periode penelitian adalah sebesar Rp 10.204,43 per kg lebih tinggi dari titik impas. Tingginya harga mete gelondongan kering internasional ini, mencerminkan risk premium yang ditanggung oleh importir jauh di atas titik impas dan menunjukkan tingginya keuntungan ekonomi yang diterima petani.
Jika harga bayangan output turun sebesar 20 % sehingga harga bayangan menjadi Rp 8.103,54 per kg mete gelondongan kering. Pada kondisi ini usahatani jambu mete di Kabupaten Karangasem masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif), namun sudah tidak lagi memiliki keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomi), karena nilai DRC meningkat menjadi 1,16.
Jika biaya transportasi naik sebesar 25 % sebagai dampak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), menyebabkan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Keadaan ini menunjukkan bahwa usahatani jambu mete masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomi (keunggulan komparatif). Namun tingkat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan komparatif) semakin melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai DRC meningkat menjadi 0,95.
Jika produktivitas mete gelondongan kering turun sebesar 20 % akan meningkatkan nilai PCR, DRC dan SRP. Itu berarti bahwa usahatani jambu mete masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) karena nilai PCR masih < 1. Namun tingkat daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) tersebut semakin melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai PCR meningkat menjadi 0,30. Sebaliknya penurunan produktivitas mete gelondongan kering sebesar 20 % menyebabkan hilangnya tingkat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan komparatif), karena nilai DRC meningkat menjadi 1,15.
Perubahan nilai tukar rupiah pada interval Rp 8.500,00 per $ US sampai dengan Rp 10.000,00 per $ US, menyebabkan sistim usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem tetap memiliki daya saing secara finansial dan daya saing secara ekonomi. Ada kecenderungan semakin menguatnya nilai tukar rupiah (apresiasi) semakin kuat daya saing pada nilai ekonomi (keunggulan komparatif).
Oleh karena hasil analisis menunjukkan bahwa nilai PCR (0,24 ) lebih kecil dari nilai DRC (0,91), maka usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem sebenarnya masih tetap memerlukan campur tangan pemerintah untuk menunjang daya saing pada nilai ekonomi (internasional). Kebijakan pemerintah yang sesuai dengan ketentuan WTO antara lain berupa tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. 
Hasil analisis menunjukkan bahwa usahatani komoditas jambu mete di Kabupaten Karangasem layak untuk terus dikembangkan, namun penurunan produktivitas mete gelondongan kering hingga 20 % akan menyebabkan melemahnya daya saing pada nilai finansial dan hilangnya daya saing pada nilai ekonomi, oleh karena itu diperlukan adanya pemeliharaan tanaman jambu mete secara baik dan upaya perbaikan teknologi budidaya tanaman jambu mete.

Kamis, 03 Mei 2012

PRIORITAS STRATEGI MEMPERTAHANKAN PERTANIAN SAWAH DI KABUPATEN BADUNG


Keberhasilan sektor pariwisata yang telah mengangkat perekonomian Kabupaten Badung membuat ketidak seimbangan pembangunan antar sektor. Dimana sektor pertanian yang merupakan sektor primer akan terabaikan, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian lebih kecil dari luar sektor pertanian.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis usahatani pertanian sawah di Kabupaten Badung, mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor pendukung yang dimiliki untuk mempertahankan pertanian sawah dan merumuskan alternatif strategi yang tepat untuk mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung pada tahun 2009, dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Badung memiliki pertanian sawah yang tiap tahunnya mengalami penyusutan lahan karena adanya alih fungsi lahan akibat perkembangan pembangunan sektor pariwisata dan pertanian sawah di Kabupaten Badung memiliki peran strategis yaitu sebagai penyedia bahan pangan, disamping itu aktifitas pertanian sawah dapat menjamin konservasi atau pelestarian sumber daya alam maupun budaya.
Responden dalam penelitian ini adalah para stakeholders bidang pertanian dan instansi terkait lainnya di Kabupaten Badung, praktisi pertanian dan pengamat pertanian, dengan mengadakan interview. Analisis data menggunakan matriks IFAS dan EFAS, Matrik SWOT, dan QSPM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis usahatani komoditas padi pada berbagai musim tanam, kedelai, jagung dan kacang tanah pada pertanian sawah di Kabupaten Badung menguntungkan. Faktor kekuatan mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung adalah kebijakan pemerintah kabupaten dalam mendukung peningkatan produksi padi sawah, perencanaan program pembangunan pertanian daerah, soliditas aparat pertanian dan instansi terkait lainnya, kuantitas dan kualitas sumber daya aparat, prasarana dan sarana. Sedangkan faktor kelemahan adalah pembinaan kerjasama dalam pemasaran hasil di tingkat lapang, monitoring dan evaluasi, alokasi dana untuk kegiatan penyuluhan, kinerja pelayanan aparat terhadap masyarakat tani, dan keterlambatan realisasi APBD kabupaten untuk pertanian sawah. Peluang mempertahankan pertanian sawah adalah kesesuaian lahan dan iklim, adanya lembaga persubakan, teknologi usahatani padi, adanya mitra usaha, adanya lembaga keuangan yang menyediakan kredit untuk usaha pertanian, permintaan beras dan kebijakan pemerintah pusat dan provinsi yang mendukung pertanian sawah. Sedangkan ancamannya adalah tingkat pendidikan petani dan minat generasi muda dibidang pertanian sawah, alih fungsi lahan pertanian sawah, sistim tebasan menyebabkan harga gabah rendah, serangan organisme pengganggu tanaman, pertambahan penduduk, dan pasar bebas. Analisis Matriks IFAS dan EFAS, menunjukkan bahwa secara internal adalah kuat. Itu berarti bahwa posisi internal Pemerintah Kabupaten Badung dalam mempertahankan pertanian sawah mampu memanfaatkan faktor-faktor kekuatan yang ada untuk mengatasi faktor-faktor kelemahan. Sedangkan secara eksternal menunjukkan lemah, ini berarti posisi eksternal dalam mempertahankan pertanian sawah tidak dapat memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman yang ada. Analisis SWOT menghasilkan delapan alternatif strategi yakni: optimalisasi lahan dan lembaga persubakan dalam peningkatan hasil pertanian sawah, perbaikan mutu intensifikasi pertanian dan kualitas beras, konsistensi RUTR dan penumbuhan minat generasi muda di bidang pertanian, meningkatkan daya saing pertanian sawah dengan melakukan perlindungan kepada petani, pengembangan kerjasama pemasaran hasil dengan mitra usaha, pengembangan kerjasama permodalan dengan lembaga keuangan, peningkatan kinerja aparat pertanian untuk kesejahteraan petani, peningkatan monitoring dan evaluasi pembangunan pertanian sawah. Analisis QSPM menunjukkan bahwa strategi yang mempunyai daya tarik paling tinggi dan menjadi pilihan utama dari alternatif strategi mempertahankan pertanian sawah adalah strategi optimalisasi lahan dan lembaga persubakan dalam peningkatan hasil pertanian sawah. 
Penelitian ini merekomendasikan akan pentingnya menjaga keseimbangan pembangunan antara kegiatan pariwisata dan kegiatan pertanian sawah sehingga kelestarian obyek dan daya tarik wisata dapat dipertahankan. Oleh karenanya perencanaan pembangunan pertanian seyogyanya melibatkan lembaga persubakan, praktisi dan pengamat pertanian secara partisipatif.